Sunday, 4 December 2016

Pemikiran Ekonomi Abu Ubaid dan Yahya bin Umar

BAB I
PENDAHULUAN

      A.    Latar Belakang
Pendekatan sejarah sosial dalam pemikiran hukum Islam merupakan pendekatan dimana setiap pemikiran hukum Islam pada dasarnya adalah hasil interaksi antara pemikir dengan lingkungan sosio-kultural atau sosio-politiknya. Oleh karena itu, hasil dari pemikirannya itu dipengaruhi oleh lingkungan itu. Menurut Atho Mudzar, pendekatan ini penting, karena sedikitnya karena ada dua hal: pertama, untuk meletakkan hasil pemikiran hukum Islam tersebut pada tempatnya. Kedua, untuk memeberikan tambahan keberanian kepada pemikir hukum Islam sekarang agar tidak ragu-ragu untuk melakukan perubahan terhadap suatu produk pemikiran hukum. [1]
Dilihat dari waktu dimana pemikir-pemikir ekonomi Islam hidup, dapat dibagi menjadi dua jenis pemikiran, yaitu: para pemikir yang hidup sebelum abad 20 yang disebut sebagai pemikir ekonomi Isam klasik dan pemikir-pemikir yang hidup setelah abad 20 disebut pemikir ekonomi Islam kontemporer. [2]Dalam pembahasan makalah ini mengenai pemikiran ekonomi Islam klasik karena membahas tokoh Abu Ubaid dan Yahya bin Umar.
Islam rahmatan lil alamin, memiliki konsep dan sejarah bagaimana seharusnya sebuah negara dalam melaksanakan pembangunannya, terutama dalam aspek perekonomian. Sebagai agama yang sempurna, ekonomi dalam Islam adalah inheren dalam kesempurnaannya tersebut. Tujuan ekonomi Islam adalah membawa kepada konsep al-falah (kesejahteraan) di dunia dan akhirat bukan berorientasi pada dunia saja. Kesejahteraan dunia dan diakhirat merupakan tujuan dari pemikiran yang dibawa oleh Abu Ubaid dan Yahya bin Umar.
  
B.     Rumusan Masalah
     Berdasarkan latar belakang masalah diatas, maka rumusan masalah mengenai “Pemikiran Ekonomi Abu Ubaid dan Yahya bin Umar” ialah:
1. Bagaimana riwayat hidup Abu Ubaid dan Yahya bin Umar?
2. Apa karya yang dihasilkan oleh Abu Ubaid dan Yahya bin Umar dalam pemikiran ekonomi         Islam?
3. Bagaimana pemikiran ekonomi Abu Ubaid dan Yahya bin Umar sebagai pendorong majunya       perkembangan ekonomi Islam pada masa itu?

C.    Tujuan
     Tujuan penulisan makalah yang berjudul “Pemikiran Ekonomi Abu Ubaid dan Yahya bin Umar”  ialah:
1. Untuk memaparkan kepada pembaca mengenai riwayat hidup Abu Ubaid dan Yahya bin               Umar;
2. Untuk memaparkan kepada pembaca mengenai karya-karya yang dihasilkan oleh Abu Ubaid       dan Yahya bin Umar;
3. Untuk memaparkan kepada pembaca mengenai pemikiran ekonomi Abu Ubaid dan Yahya bin     Umar.


BAB II
PEMBAHASAN

I.         Pemikiran Abu Ubaid
Abu Ubaid bernama lengkap Al-Qasim bin Sallam bin Miskin bin Zaid Al-Harawi Al-Azadi Al-Baghdadi yang lahir pada tahun 150 H dikota Harrah, Khurasan, sebelah barat laut Afghanistan.[3] Ayahnya keturunan Byzantium yang menjadi maula suku Azad. Pada usia 20 tahun, Abu Ubaid pergi berkelana untuk menuntut ilmu ke berbagai kota, seperti Kufah, Basrah, dan Baghdad. Ilmu-ilmu yang dipelajari antara lain mencakup ilmu tata bahasa Arab, qira’at, tafsir, hadits, dan fiqih. Pada tahun 192 H, Tsabit ibn Nasr ibn Malik, gubernur Thugur di masa pemerintah Khalifah Harun Al-Rashid, mengangkat Abu Ubaid sebagai qadi (hakim) di Tarsus hingga tahun 210 H. Setelah itu, penulis kitab al-Amwal ini tinggal di Baghdad selama 10 tahun. Pada tahun 219 H, setelah berhaji ia menetap di Makkah sampai wafatnya. Ia meninggal pada tahun 224 H.
Pandangan-pandangan Abu Ubaid mengedepankan dominasi intelektualitas Islami yang berakar dari pendekatannya yang bersifat holistic dan teologis terhadap kehidupan manusia di dunia dan akhirat, baik yang bersifat individual maupun sosial. Berdasarkan hal tersebut, Abu Ubaid berhasil menjadi salah seorang cendekiawan Muslim terkemuka pada awal abad ketiga Hijriyah (abad kesembilan Masehi) yang menetapkan revitalisasi sistem perekonomian berdasarkan al-Qur’an dan Hadits melalui reformasi dasar-dasar kebijakan keuangan dan intuisinya.
a          a. Karya Abu Ubaid
Kitab al-Amwal merupakan kitab karya Abu Ubaid, kitab al-Amwal dibagi menjadi beberapa bagian dan bab, mulai dari bab pendahuluan singkat dari kesepakatan para imam (penguasa) dan subjek satu dengan yang lainnya dengan referensi khusus untuk pemerintah yang adil. Pada bab selanjutnya merupakan bab pelengkap, kitab ini mengurai tentang berbagai jenis pemasukan negara yang dipercayakan kepada penguasa atas nama rakyat serta berbagai landasan hukumnya dalam al-Qur’an dan Sunnah.
Tiga bagian pertama dari kitab al-Amwal meliputi beberapa bab yang membahas penerimaan Jai (penerimaan yang berasal dari jizyah, kharaj, dan ushr). Pada bagian keempat, berisi pembahasan mengenai pertanahan, administrasi, hukum internasional, dan hukum perang. Bagian kelima membahas tentang distribusi pendapatan fai (ghanimah dan idyah), bagian keenam membahas tentang iqta, ihya al-mawat, dan hima. Dapat disimpulkan bahwa tampak kitab al-Amwal secara khusus memfokuskan perhatiannya pada masalah Keuangan Publik (Public Finance).

b          b. Pemikiran Ekonomi Abu Ubaid
1)      Filosofi Hukum dari Sisi Ekonomi
Jika isi kitab al-Amwal dievaluasi dari sisi filosofi hukum akan tampak bahwa Abu Ubaid menekankan keadilan sebagai prinsip utama. Bagi Abu Ubaid, pengimplementasian dari prinsip-prinsip ini akan membawa kepada kesejahteraan ekonomi dan keselarasan sosial. Pada dasarnya, Abu Ubaid memiliki pendekatan yang berimbang terhadap hak-hak individu, publik, dan negara. Jika kepentingan individu berbenturan dengan kepentingan publik,  ia akan berpihak pada kepentingan publik, diantaranya:[4]
4.      Zakat tabungan dapat diberikan kepada negara ataupun langsung kepada penerimanya, sedangkan zakat komoditas harus diberikan kepada pemerintah dan jika tidak maka kewajiban agama diasumsikan tidak ditunaikan.
5.      Abu Ubaid mengakui otoritas penguasa dalam memutuskan tanah taklukan dan alokasi khums demi kepentingan publik.
6.      Perbendaharaan negara harus digunakan untuk kepentingan publik.
7.      Pentingnya keseimbangan antara kekuatan finansial penduduk non-muslim (capacity to pay) dengan kepentingan dari golongan muslim yang berhak menerimanya dalam hal kharaj dan jizyah.
8.      Kaum Muslimin dilarang menarik pajak terhadap tanah non-muslim melebihi dari apa yang diperbolehkan dalam perjanjian damai.
9.      Tarif pajak kontraktual tidak dapat dinaikkan, bahkan dapat diturunkan apabila terjadi ketidakmampuan membayar.
10.  Petugas pengumpul kharaj, jizyah, ushr, atau zakat  untuk tidak menyiksa masyarakat. Hal ini dilakukan agar masyarakat dapat memenuhi kewajiban finansialnya secara teratur dan sepantasnya.

Dengan perkataan lain, Abû ‘Ubaid berusaha untuk menghentikan terjadinya diskriminasi atau penindasan dalam perpajakan serta terjadinya penghindaran terhadap pajak (tax evasion). Abû ‘Ubaid mengadopsi qawâ’id fiqh, “lâ yunkaru taghayyiru al-fatwâ bi taghayyur al-‘azminah” (keberagaman aturan atau hukum karena perbedaan waktu atau periode tidak dapat dielakkan). Namun, betapapun keberagaman tersebut terjadi hanya sah apabila aturan atau hukum tersebut diputuskan melalui suatu ijtihad yang didasarkan pada nash.[5]

 Pandangan Abu Ubaid mengenai perdagangan internasional
Perdagangan internasional adalah perdagangan antar negara yang melintasi batas-batas suatu negara. Abu Ubaid dalam menyoroti praktik perdagangan internasional ini, khususnya impor dan ekspor. Pemikiran Abu Ubaid mengenai perdagangan internasional dapat dibagi  kepada 3 bagian:[6]
a.       Tidak adanya nol tariff
Untuk barang impor kaum muslim dikenakan zakat dengan besar 2.5%, untuk ahli dzimmah (kafir yang sudah melakukan perdamain dengan Islam) sebesar 5%, dan untuk kaum Harbi (Yahudi dan Nasrani) sebesar 10%.
b.      Cukai bahan makanan pokok
Minyak dan gandum merupakan bahan makanan pokok, oleh karena itu dikenakan cukai sebesar 5%.
c.       Adanya batas tertentu mengenai cukai
Ada batasan-batasan tertentu dimana kalau kurang dari batasan tersebut, maka cukai tidak akan dipungut, menurut Abu Ubaid seratus dirham merupakan ketentuan kadar terendah pengumpulan cukai  atas harta import ahli dzimmah dan kafir harbi.

2)      Dikotomi Badui-Urban[7]
Dikotomi sendiri dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia berarti pembagian atas dua kelompok yang saling bertentangan. Disamping keadilan, Abu Ubaid membangun suatu negara Islam berdasarkan administrasi, pertahanan, pendidikan, hukum, dan kasih sayang. Kaum badui tidak memberikan kontribusi sebesar yang dilakukan kaum urban, sehingga tidak dapat memperoleh manfaat dari pendapatan fai sebanyak kaum urban. Mereka memiliki hak klaim sementara terhadap penerimaan fai yaitu pada saat terjadi tiga kondisi kritis. Pertama, ketika terjadi invasi musuh, Kedua, kemarau panjang (ja’ihah) dan Ketiga kerusuhan sipil (fatq). Abu Ubaid memperluas cakupan kaum badui dengan memasukkan golongan masyarakat pegunungan dan pedesaan.

3)      Kepemilikan dalam Konteks Kebijakan Perbaikan Pertanian
Abu Ubaid mengakui adanya kepemilikan pribadi dan kepemilikan publik. Pemikiran Abu Ubaid yang khas mengenai hal ini adalah mengenai hubungan antara kepemilikan dengan kebijakan perbaikan pertanian. Kebijakan pemerintah, seperti iqta’ (enfeoffment) tanah gurun dan deklarasi resmi terhadap kepemilikan individual atas tanah tandus yang disuburkan, sebagai insentif untuk meningkatkan produksi pertanian. Oleh karena itu, tanah yang diberikan dengan persyaratan untuk diolah akan dibebaskan dari kewajiban membayar pajak, jika dibiarkan menganggur selama tiga tahun bertururt-turut akan didenda dan kemudian dialihkan kepemilikannya oleh penguasa.
Dalam pandangan Abu Ubaid, sumber daya publik, seperti air, padang rumput, dan api tidak boleh dimonopoli seperti hima’ (taman pribadi). Seluruh sumber daya ini hanya dapat dimasukkan ke dalam kepemilikan negara yang akan digunakan untuk memenuhi kebutuhan masyarakat.

4)      Reformasi Distribusi Zakat
Abu Ubaid sangat menentang pendapat yang menyatakan bahwa pembagian harta zakat harus dilakukan secara merata diantara delapan kelompok penerima zakat dan cenderung menentukan suatu batas tertinggi terhadap bagian perorangan. Bagi Abu Ubaid, yang paling penting adalah memenuhi kebutuhan-kebutuhan dasar, seberapun besarnya, serta menyelamatkan orang-orang dari bahaya kelaparan.[8] Akan tetapi pada saat yang bersamaan Abu Ubaid tidak memberikan hak penerimaan zakat kepada orang-orang yeng memiliki 40 dirham atau harta lainnya yang setara, disamping baju, pakaian, rumah, dan pelayan yang dianggapnya sebagai suatu kebutuhan standar hidup minimum. Disisi lain, seseorang yang memiliki 200 dirham, yakni jumlah minimum yang terkena wajib pajak sebagai “orang kaya” Abu Ubaid mengenakan kewajiban zakat terhadap orang tersebut. Dengan pendekatan ini maka Abu Ubaid mengindikasikan adanya tiga kelompok sosio-ekonomi yang terkait dengan status zakat, yaitu:
a.       Kalangan kaya yang terkena wajib zakat
b.      Kalangan menengah yang tidak terkena wajib zakat, tetapi juga tidak berhak menerima zakat
c.       Kalangan penerima zakat.
Berkaitan dengan distribusi kekayaan melalui zakat, Abu Ubaid secara umum mengadopsi prinsip “bagi setiap orang adalah menurut kebutuhannya masing-masing” (li kulli wahidin hasba hajatihi). Lebih jauh, ketika membahas kebijakan penguasa dalam hal jumlah zakat yang diberikan kepada pengumpulnya (amil), pada prinsipnya lebih cenderung pada prinsip “bagi seseorang adalah sesuai dengan haknya.”

5)      Uang antara Fungsi dan Alat
Pada prinsipnya, Abu Ubaid mengakui adanya dua fungsi uang, yakni sebagai standar nilai pertukaran (standart of exchange value) dan media pertukaran (medium of exchange). Dalam hal ini ia menyatakan:
“Hal yang tidak diragukan lagi bahwa emas dan perak tidak layak untuk apapun, kecuali keduanya menjadi harta dari barang dan jasa. Keuntungan yang paling tinggi yang dapat diperoleh dari kedua benda ini adalah penggunaannya untuk membeli sesuatu (infaq).”[9]
Abu Ubaid merujuk pada kegunaan umum dan relatif konstannya nilai emas dan perak dibandingkan dengan komoditas yang lainnya. Jika kedua benda tersebut dijadikan sebagai komoditas, maka nilai dari keduanya akan berubah-ubah. Karena dalam hal tersebut, keduanya akan memainkan dua peran yang berbeda, yakni sebagai barang yang harus dinilai atau sebagai standar penilaian dari barang-barang lainnya.
Pemikiran Abu Ubaid dalam kitabnya ingin menyatakan bahwa segala kebijakan yang hanya menguntungkan sekelompok masyarakat dan membebani sekelompok masyarakat lainnya harus dihindari negara semaksimal mungkin. Pemerintah harus mengatur harta kekayaan negara agar dimanfaatkan demi kepentingan bersama dan mengawasi hak kepemilikan pribadi agar tidak disalahgunakan sehingga tidak menggangu atau mengurangi manfaat bagi masyarakat umum.
II.      Pemikiran Ekonomi Yahya bin Umar
Yahya bin Umar merupakan salah seorang fuqaha madzhab Malaiki. Ulama yang bernama lengkap Abu Bakar Yahya bin Umar bin Yusuf Al-Kannani Al-Andalusi, Ia lahir pada tahun 213 H dan dibesarkan di Kordova, Spanyol. Ia berkelana ke berbagai negeri untuk menuntut ilmu, mulai dari Mesir pindah ke Hijaz dan menetap di Qairuwan, Afrika, kemudian menyempurnakan pendidikannya kepada seorang ahli ilmu faraid dan hisab, Abu Zakaria Yahya bin Sulaiman Al-Farisi setelah itu, Ia menjadi pengajar di Jami’ Al-Qairuwan. Pada masa hidupnya ini, terjadi konflik yang menajam antara fuqaha Malikiyah dengan fuqaha Hanafiyah yang dipicu oleh persaingan memperebutkan pengaruh dalam pemerintahan. Yahya bin Umar terpaksa pergi dari Qairuwan dan menetap di Sausah. Dimana pada saat itu di Sausah Ibnu ‘Abdun berusaha menyingkirkan para ulama penentangnya, baik dengan cara memenjarakan maupun membunuh, menjabat qadi di negeri itu. Setelah Ibnu ‘Abdun turun jabatan, Ibrahim bin Ahmad Al-Aglabi menawarkan jabatan qadi kepada Yahya bin Umar. Namun, Ia menolaknya dan memilih tetap tinggal di Sausah serta mengajar di Jami’ Al-Sabt hingga akhir hayatnya. Yahya bin Umar wafat pada tahun 289 H (901 M).[10]

a.      Karya Yahya bin Umar
Disamping aktif mengajar, Yahya bin Umar banyak menghasilkan karya tulis hingga mencapai 40 juz. Diantara berbagai karyanya yang terkenal adalah kitab Al-Muntakhabah fi Ikhtishar Al-Mustakhrijah fi Al-Fiqh Al-Malaiki dan Ahkam As-Suq.
Kitab Ahkam As-Suq,  kitab Yahya bin Umar yang paling terkenal dan berasal dari benua Afrika. Pada abad ketiga Hijriyah merupakan kitab pertama di dunia Islam yang khusus membahas hisbah dan berbagai hukum pasar. Munculnya hukum pasar dalam kitab Ahkam As-Suq di pengaruhi oleh situasi kota Qairuwan, kota tersebut telah memiliki institusi pasar yang permanen sejak 155 H, dan dilatarbelakangi oleh dua persoalan yang mendasar. Yaitu pertama, hukum syara’ tentang perbedaan kesatuan timbangan dan takaran perdagangan dalam satu wilayah; kedua, hukum syara’ tentang harga gandum yang tidak terkendali akibat pemberlakuan liberalisasi harga, sehingga dikhawatirkan dapat menimbulkan kemudharatan bagi para konsumen.
Dalam membahas kedua persoalan itu, Yahya bin Umar menjelaskan secara komprehensif yang disertai dengan diskusi panjang. Sebelum menjawabnya, ia menulis mukaddimah secara terperinci tentang berbagai tanggung jawab pemerintah, seperti kewajiban melakukan inspeksi pasar, mengontrol timbanngan dan takaran, serta mengungkapkan perihal mata uang. Yahya bin Umar diyakini mengajarkan kitab tersebut untuk pertama kalinya dikota Sausah pada masa pasca konflik.

b.      Pemikiran Yahya bin Umar
Menurut Yahya bin Umar aktivitas ekonomi merupakan bagian yang tak terpisahkan dari ketakwaan seorang Muslim kepada Allah Swt. Disamping al-Qur’an setiap Muslim harus berpegang teguh pada Sunnah dan mengikuti seluruh perintah Nabi Muhammad Saw dalam melakukan setiap aktivitas ekonominya. Ia menyatakan bahwa keberkahan akan selalu menyertai orang-orang yang bertakwa, sesuai dengan firman Allah Swt:[11]
“Jikalau sekiranya penduduk negeri-negeri beriman dan bertakwa, pastilah Kami akan melimpahkan kepada mereka berkah dari langit dan bumi, tetapi mereka mendustakan (ayat-ayat kami) itu, maka Kami siksa mereka disebabkan perbuatannya. (Qs. Al-A’raf ayat 96)
Fokus perhatian Yahya bin Umar tertuju pada hukum-hukum pasar yang merefleksikan dalam pembahasan tentang tas’ir (penetapan harga). Berkaitan dengan hal tersebut, Yahya bin Umar berpendapat bahwa al-tas’ir (penetapan harga) tidak boleh dilakukan. Ia berhujjah dengan berbagai hadits Nabi Muhammad Saw, antara lain:
“Dari Anas bin Malik, ia berkata: “Telah melonjak harga (di pasar) pada masa Rasulullah Saw, mereka (para sahabat) berkata: “Wahai Rasulullah, tetapkanlah harga bagi kami.” Rasulullah menjawab: “Sesungguhnya Allah-lah yang menguasai (harga), yang memberi rezeki, yang memudahkan, dan yang menetapkan harga. Aku sungguh berharap bertemu dengan Allah dan tidak seorang pun (boleh) memintaku untuk melakukan kedzaliman  dalam persoalan jiwa dan harga.”  (Riwayat Abu Dawud)
Jika kita mencermati konteks hadits tersebut, tampak jelas bahwa Yahya bin Umar melarang kebijakan penetapan harga (tas’ir). Jika kenaikan harga yang terjadi adalah semata-mata hasil interaksi penawaran dan permintaan yang alami. Pemerintah tidak mempunyai hak untuk melakukan intervensi harga. Yahya bin Umar menyatakan bahwa pemerintah tidak boleh melakukan intervensi, kecuali dalam dua hal, yaitu:
1.      Para pedagang tidak memperdagangkan barang dagangan tertentu yang sangat dibutuhkan masyarakat, sehingga dapat menimbulkan kemudaratan serta merusak mekanisme pasar. Dalam hal ini, pemerintah dapat mengeluarkan para pedagang tersebut dari pasar serta menggantikannya dengan pedagang lain berdasarkan kemaslahatan dan kemanfaatan umum.
2.      Para pedagang melakukan praktik siyasah al-ighraq atau banting harga (dumping) yang dapat menimbulkan persaingan yang tidak sehat serta dapat mengacaukan stabilitas harga pasar. Dalam hal ini, pemerintah berhak memerintahkan para pedagang tersebut untuk menaikkan kembali harganya sesuai dengan harga berlaku di pasar. Apabila mereka menolaknya, pemerintah berhak mengusir para pedagang tersebut dari pasar.

Dari kedua point diatas, menunjukkan bahwa sesungguhnya Yahya bin Umar mendukung kebebasan ekonomi, termasuk kebebasan kepemilikan. Kebebasan ekonomi tersebut berarti harga ditentukan oleh kekuatan pasar, yakni kekuatan penawaran (supply) dan permintaan (demand). Akan tetapi, Yahya bin Umar menambahkan bahwa mekanisme harga itu harus tunduk kepada kaidah-kaidah. Diantara kaidah-kaidah tersebut adalah pemerintah berhak untuk melakukan intervensi ketika terjadi tindakan sewenang-wenang dalam pasar yang dapat menimbulkan kemudaratan bagi masyarakat.

c.       Wawasan Modern Teori Yahya bin Umar
Sekalipun tema utama yang diangkat dalam kitabnya, Ahkam As-Syuq adalah mengenai hukum-hukum pasar, pada dasarnya konsep Yahya bin Umar lebih banyak terkait dengan permasalahan ihtikar dan siyasah al-ighraq atau dalam ilmu ekonomi kontemporer, kedua hal tersebut dikenal dengan istilah monopoly’s rent-seeking dan dumping.
1.      Ihtikar (monopoly’s rent-seeking)
Islam secara tegas melarang Ihtikar, yakni mengambil keuntugan diatas keuntungan normal dengan cara menjual lebih sedikit barang untuk harga yang lebih tinggi. Rasululah Saw, menyatakan bahwa Ihtikar adalah perbuatan berdosa. Para ulama’ sepakat bahwa illat pengharaman Ihtikar adalah menimbulkan kemudaratan bagi umat manusia. Ihtikar tidak hanya merusak mekanisme pasar, tetapi juga menghentikan keuntungan yang akan diperoleh orang lain serta menghambat proses distribusi kekayaan diantara manusia.
Yahya bin Umar menyatakan Ihtikar adalah timbulnya kemudaratan terhadap masyarakat merupakan syarat pelarangan penimbunan barang. Apabila hal tersebut terjadi, barang dagangan hasil timbunan tersebut harus dijual dan keuntungan hasil penjualan ini disedekahkan sebagai pendidikan terhadap para pelaku Ihtikar. Adapun para pelaku Ihtikar hanya berhak mendapatkan modal pokok mereka. Selanjutnya, pemerintah memperingatkan para pelaku Ihtikar agar tidak mengulangi perbuatannya, apabila mereka tidak memperdulikan peringatan tersebut, pemerintah berhak menghukum mereka dengan memukul, lari mengelilingi kota, dan memenjarakannya.

2.      Siyasah al-ighraq atau dumping
Berbanding terbalik dengan Ihtikar, Siyasah al-ighraq atau dumping bertujuan meraih keuntungan dengan cara menjual barang pada tingkat harga yang lebih rendah daripada harga yang berlaku dipasaran. Perilaku ini jelas dilarang dalam Islam karena dapat menimbulkan kemudaratan bagi masyarakat luas.
Dalam prakatiknya, Siyasah al-ighraq atau dumping baru dipandang sebagai sebuah kebijakan perdagangan yang lebih menguntungkan oleh sebuah perusahaan jika ditemukan dua hal, yaitu pertama, industri tersebut bersifat kompetitif tidak sempurna, sehingga perusahaan dapat bertindak sebagai price maker, bukan sebagai price taker; kedua, pasar harus tersegmentasi sehingga penduduk didalam negeri tidak dapat dengan mudah membeli barang-barang yang akan di ekspor.
Menurut Rifa’at Al-Audi, pernyataan Yahya bin Umar yang melarang praktik banting harga (dumping) bukan dimaksudkan untuk mencegah harga-harga menjadi murah. Pelarangan tersebut dimaksudkan untuk mencegah dampak negatifnya terhadap mekanisme pasar dan kehidupan masyarakat secara keseluruhan.

BAB III
PENUTUP
A.    Simpulan
Berdasarkan hasil pembahasan mengenai pemikiran ekonomi Islam Abu Ubaid dan Yahya bin Umar, dapat disimpulkan bahwa:
1.      Abu Ubaid bernama lengkap Al-Qasim bin Sallam bin Miskin bin Zaid Al-Harawi Al-Azadi Al-Baghdadi yang lahir pada tahun 150 H dikota Harrah, Khurasan, sebelah barat laut Afghanistan. Pada tahun 219 H, setelah berhaji ia menetap di Makkah sampai wafatnya. Ia meninggal pada tahun 224 H.
2.      Karya dari Abu Ubaid yang paling terkenal adalah kitab al-Amwal yang secara khusus memfokuskan perhatiannya pada masalah Keuangan Publik (Public Finance).
3.      Pemikiran ekonomi Abu Ubaid adalah:
a.       Filosofi Hukum dari Sisi Ekonomi
b.      Dikotomi Badui-Urban
c.       Kepemilikan dalam Konteks Kebijakan Perbaikan Pertanian
d.      Reformasi Distribusi Zakat
e.       Uang antara Fungsi dan Alat
4.      Yahya bin Umar merupakan salah seorang fuqaha madzhab Malaiki. Ulama yang bernama lengkap Abu Bakar Yahya bin Umar bin Yusuf Al-Kannani Al-Andalusi, Ia lahir pada tahun 213 H dan dibesarkan di Kordova, Spanyol, dan wafat pada tahun 289 H (901 M).
5.      Diantara berbagai karyanya yang terkenal adalah kitab Al-Muntakhabah fi Ikhtishar Al-Mustakhrijah fi Al-Fiqh Al-Malaiki dan Ahkam As-Suq. Dan yang paling terkenal ialah kitab Ahkam As-Suq.
6.      Fokus perhatian Yahya bin Umar tertuju pada hukum-hukum pasar yang merefleksikan dalam pembahasan tentang tas’ir (penetapan harga). Wawasan modern yang dilakukan oleh yahya bin umar ialah:
a.      Ihtikar (monopoly’s rent-seeking)
b.      Siyasah al-ighraq atau dumping

B.     Saran
Belajar dengan sejarah merupakan suatu pekerjaan yang baik. Karena sejarah merupakan guru yang baik, dengan sejarah kita dapat belajar bagaimana atau apa yang akan kita lakukan kedepannya. Sejarah ekonomi Islam melahirkan pemikiran-pemikiran yang dapat kita aplikasikan dalam negara ini. Penguasa yang adil, mendahulukan kebutuhan, mengutamakan kepentingan publik dari pada kepentingan pribadi. Aktivitas ekonomi merupakan bagian yang tak terpisahkan dari ketakwaan seorang Muslim kepada Allah Swt dan berpegang teguh pada Sunnah. Oleh karena itu, pengaplikasian dari sejarah perlu dilakukan dengan nengedepankan kemashlahatan bagi orang banyak, karena Islam sendiri adalah agama yang Rahmatan lil alamin


DAFTAR PUSTAKA

Adiwarman Azwar Karim, Sejarah Pemikiran Ekonomi Islam, Raja Grafindo Persada, Jakarta, 2012
Afif Shidqi, Sejarah Perkembangan Ekonomi Syariah, Fakultas Ilmu Pengetahuan Budaya, Depok, 2009
Boedi Abdullah, Peradaban Pemikiran Ekonomi Islam, Pustaka Setia,  Bandung,  2010
Hendri Tanjung, Abu Ubaid dan Perdagangan Internasional, IQTISHODIA Jurnal Ekonomi Islam Republika, 2010, tersedia di http://ftp.unpad.ac.id/koran/republika/2010-09-30/republika_2010-09-30_006.pdf, diakses pada  09 Oktober 2016 pukul 03.37 WIB
Johan Sidik Kantara, Pemikiran Ekonomi Abu Ubaid, Forum Kajian Ekonomi Islam (FKEI) Bandung, Bandung, 2012
Prilia Kurnia Ningsih, Pemikiran Ekonomi Abu Yusuf (731-798M) dan Abu Ubaid (154-224H), Universitas Syarif Hidayatullah Jakarta, Jakarta, 2013



[1] Johan Sidik Kantara, Pemikiran Ekonomi Abu Ubaid, Forum Kajian Ekonomi Islam (FKEI) Bandung, Bandung, 2012, hlm 1
[2] Prilia Kurnia Ningsih, Pemikiran Ekonomi Abu Yusuf (731-798M) dan Abu Ubaid (154-224H), Universitas Syarif Hidayatullah Jakarta, Jakarta, 2013, hlm 2
[3] Adiwarman Azwar Karim, Sejarah Pemikiran Ekonomi Islam, Raja Grafindo Persada, Jakarta, 2012, hlm 264
[4] Afif Shidqi, Sejarah Perkembangan Ekonomi Syariah, Fakultas Ilmu Pengetahuan Budaya, Depok, 2009, hlm 60-62
[5] Johan Sidik Kantara, Opcit, hlm 6
[6] Hendri Tanjung, Abu Ubaid dan Perdagangan Internasional, IQTISHODIA Jurnal Ekonomi Islam Republika, 2010, tersedia di http://ftp.unpad.ac.id/koran/republika/2010-09-30/republika_2010-09-30_006.pdf, diakses pada  09 Oktober 2016 pukul 03.37 WIB
[7] Adiwarman Azwar Karim, Opcit, hlm 275
[8] Boedi Abdullah, Peradaban Pemikiran Ekonomi Islam, Pustaka Setia,  Bandung,  2010, hlm 180
[9] Ibid, hlm 181
[10] Adiwarman Azwar Karim, Opcit, hlm 282-283
[11] Boedi Abdullah, Ibid, hlm 183

No comments:

Post a Comment