BAB I
PENDAHULUAN
A.
Latar Belakang
Pendekatan sejarah sosial dalam
pemikiran hukum Islam merupakan pendekatan dimana setiap pemikiran hukum Islam
pada dasarnya adalah hasil interaksi antara pemikir dengan lingkungan
sosio-kultural atau sosio-politiknya. Oleh karena itu, hasil dari pemikirannya
itu dipengaruhi oleh lingkungan itu. Menurut Atho Mudzar, pendekatan ini
penting, karena sedikitnya karena ada dua hal: pertama, untuk meletakkan hasil
pemikiran hukum Islam tersebut pada tempatnya. Kedua, untuk memeberikan
tambahan keberanian kepada pemikir hukum Islam sekarang agar tidak ragu-ragu
untuk melakukan perubahan terhadap suatu produk pemikiran hukum. [1]
Dilihat dari waktu dimana
pemikir-pemikir ekonomi Islam hidup, dapat dibagi menjadi dua jenis pemikiran,
yaitu: para pemikir yang hidup sebelum abad 20 yang disebut sebagai pemikir
ekonomi Isam klasik dan pemikir-pemikir yang hidup setelah abad 20 disebut
pemikir ekonomi Islam kontemporer. [2]Dalam
pembahasan makalah ini mengenai pemikiran ekonomi Islam klasik karena membahas
tokoh Abu Ubaid dan Yahya bin Umar.
Islam rahmatan lil alamin,
memiliki konsep dan sejarah bagaimana seharusnya sebuah negara dalam
melaksanakan pembangunannya, terutama dalam aspek perekonomian. Sebagai agama
yang sempurna, ekonomi dalam Islam adalah inheren dalam kesempurnaannya
tersebut. Tujuan ekonomi Islam adalah membawa kepada konsep al-falah
(kesejahteraan) di dunia dan akhirat bukan berorientasi pada dunia saja.
Kesejahteraan dunia dan diakhirat merupakan tujuan dari pemikiran yang dibawa
oleh Abu Ubaid dan Yahya bin Umar.
B.
Rumusan Masalah
Berdasarkan
latar belakang masalah diatas, maka rumusan masalah mengenai “Pemikiran
Ekonomi Abu Ubaid dan Yahya bin Umar” ialah:
1. Bagaimana riwayat hidup
Abu Ubaid dan Yahya bin Umar?
2. Apa karya yang
dihasilkan oleh Abu Ubaid dan Yahya bin Umar dalam pemikiran ekonomi Islam?
3. Bagaimana pemikiran
ekonomi Abu Ubaid dan Yahya bin Umar sebagai pendorong majunya perkembangan
ekonomi Islam pada masa itu?
C.
Tujuan
Tujuan penulisan makalah yang berjudul “Pemikiran
Ekonomi Abu Ubaid dan Yahya bin Umar” ialah:
1. Untuk memaparkan kepada
pembaca mengenai riwayat hidup Abu Ubaid dan Yahya bin Umar;
2. Untuk memaparkan kepada
pembaca mengenai karya-karya yang dihasilkan oleh Abu Ubaid dan Yahya bin Umar;
3. Untuk memaparkan kepada
pembaca mengenai pemikiran ekonomi Abu Ubaid dan Yahya bin Umar.
BAB
II
PEMBAHASAN
I.
Pemikiran Abu Ubaid
Abu Ubaid bernama lengkap Al-Qasim
bin Sallam bin Miskin bin Zaid Al-Harawi Al-Azadi Al-Baghdadi yang lahir pada
tahun 150 H dikota Harrah, Khurasan, sebelah barat laut Afghanistan.[3]
Ayahnya keturunan Byzantium yang menjadi maula suku Azad. Pada usia 20
tahun, Abu Ubaid pergi berkelana untuk menuntut ilmu ke berbagai kota, seperti
Kufah, Basrah, dan Baghdad. Ilmu-ilmu yang dipelajari antara lain mencakup ilmu
tata bahasa Arab, qira’at, tafsir, hadits, dan fiqih. Pada tahun 192 H, Tsabit
ibn Nasr ibn Malik, gubernur Thugur di masa pemerintah Khalifah Harun
Al-Rashid, mengangkat Abu Ubaid sebagai qadi (hakim) di Tarsus hingga
tahun 210 H. Setelah itu, penulis kitab al-Amwal ini tinggal di Baghdad selama
10 tahun. Pada tahun 219 H, setelah berhaji ia menetap di Makkah sampai
wafatnya. Ia meninggal pada tahun 224 H.
Pandangan-pandangan Abu Ubaid
mengedepankan dominasi intelektualitas Islami yang berakar dari pendekatannya
yang bersifat holistic dan teologis terhadap kehidupan manusia di
dunia dan akhirat, baik yang bersifat individual maupun sosial. Berdasarkan hal
tersebut, Abu Ubaid berhasil menjadi salah seorang cendekiawan Muslim terkemuka
pada awal abad ketiga Hijriyah (abad kesembilan Masehi) yang menetapkan
revitalisasi sistem perekonomian berdasarkan al-Qur’an dan Hadits melalui
reformasi dasar-dasar kebijakan keuangan dan intuisinya.
a a. Karya Abu Ubaid
Kitab
al-Amwal merupakan kitab karya Abu Ubaid, kitab al-Amwal dibagi
menjadi beberapa bagian dan bab, mulai dari bab pendahuluan singkat dari
kesepakatan para imam (penguasa) dan subjek satu dengan yang lainnya dengan
referensi khusus untuk pemerintah yang adil. Pada bab selanjutnya merupakan bab
pelengkap, kitab ini mengurai tentang berbagai jenis pemasukan negara yang
dipercayakan kepada penguasa atas nama rakyat serta berbagai landasan hukumnya
dalam al-Qur’an dan Sunnah.
Tiga
bagian pertama dari kitab al-Amwal meliputi beberapa bab yang membahas
penerimaan Jai (penerimaan yang berasal dari jizyah, kharaj,
dan ushr). Pada bagian keempat, berisi pembahasan mengenai pertanahan,
administrasi, hukum internasional, dan hukum perang. Bagian kelima membahas
tentang distribusi pendapatan fai (ghanimah dan idyah),
bagian keenam membahas tentang iqta, ihya al-mawat, dan hima. Dapat
disimpulkan bahwa tampak kitab al-Amwal secara khusus memfokuskan
perhatiannya pada masalah Keuangan Publik (Public Finance).
b b. Pemikiran
Ekonomi Abu Ubaid
1)
Filosofi Hukum dari
Sisi Ekonomi
Jika
isi kitab al-Amwal dievaluasi dari sisi filosofi hukum akan tampak bahwa Abu
Ubaid menekankan keadilan sebagai prinsip utama. Bagi Abu Ubaid,
pengimplementasian dari prinsip-prinsip ini akan membawa kepada kesejahteraan
ekonomi dan keselarasan sosial. Pada dasarnya, Abu Ubaid memiliki pendekatan yang
berimbang terhadap hak-hak individu, publik, dan negara. Jika kepentingan
individu berbenturan dengan kepentingan publik,
ia akan berpihak pada kepentingan publik, diantaranya:[4]
4.
Zakat tabungan dapat
diberikan kepada negara ataupun langsung kepada penerimanya, sedangkan zakat
komoditas harus diberikan kepada pemerintah dan jika tidak maka kewajiban agama
diasumsikan tidak ditunaikan.
5.
Abu Ubaid mengakui
otoritas penguasa dalam memutuskan tanah taklukan dan alokasi khums demi
kepentingan publik.
6.
Perbendaharaan negara
harus digunakan untuk kepentingan publik.
7.
Pentingnya keseimbangan
antara kekuatan finansial penduduk non-muslim (capacity to pay) dengan
kepentingan dari golongan muslim yang berhak menerimanya dalam hal kharaj
dan jizyah.
8.
Kaum Muslimin dilarang
menarik pajak terhadap tanah non-muslim melebihi dari apa yang diperbolehkan
dalam perjanjian damai.
9.
Tarif pajak kontraktual
tidak dapat dinaikkan, bahkan dapat diturunkan apabila terjadi ketidakmampuan
membayar.
10. Petugas
pengumpul kharaj, jizyah, ushr, atau zakat untuk tidak menyiksa masyarakat. Hal ini
dilakukan agar masyarakat dapat memenuhi kewajiban finansialnya secara teratur
dan sepantasnya.
Dengan perkataan lain, Abû ‘Ubaid berusaha
untuk menghentikan terjadinya diskriminasi atau penindasan dalam perpajakan
serta terjadinya penghindaran terhadap pajak (tax evasion). Abû ‘Ubaid
mengadopsi qawâ’id fiqh, “lâ yunkaru taghayyiru al-fatwâ bi taghayyur
al-‘azminah” (keberagaman aturan atau hukum karena perbedaan waktu atau
periode tidak dapat dielakkan). Namun, betapapun keberagaman tersebut terjadi
hanya sah apabila aturan atau hukum tersebut diputuskan melalui
suatu ijtihad yang didasarkan pada nash.[5]
Pandangan Abu Ubaid mengenai perdagangan
internasional
Perdagangan
internasional adalah perdagangan antar negara yang melintasi batas-batas suatu
negara. Abu Ubaid dalam menyoroti praktik perdagangan internasional ini,
khususnya impor dan ekspor. Pemikiran Abu Ubaid mengenai perdagangan
internasional dapat dibagi kepada 3
bagian:[6]
a.
Tidak adanya nol tariff
Untuk barang
impor kaum muslim dikenakan zakat dengan besar 2.5%, untuk ahli dzimmah (kafir
yang sudah melakukan perdamain dengan Islam) sebesar 5%, dan untuk kaum Harbi
(Yahudi dan Nasrani) sebesar 10%.
b.
Cukai bahan makanan
pokok
Minyak dan
gandum merupakan bahan makanan pokok, oleh karena itu dikenakan cukai sebesar
5%.
c.
Adanya batas tertentu
mengenai cukai
Ada
batasan-batasan tertentu dimana kalau kurang dari batasan tersebut, maka cukai
tidak akan dipungut, menurut Abu Ubaid seratus dirham merupakan ketentuan kadar
terendah pengumpulan cukai atas harta
import ahli dzimmah dan kafir harbi.
2)
Dikotomi Badui-Urban[7]
Dikotomi
sendiri dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia berarti pembagian atas dua kelompok
yang saling bertentangan. Disamping keadilan, Abu Ubaid membangun suatu negara
Islam berdasarkan administrasi, pertahanan, pendidikan, hukum, dan kasih
sayang. Kaum badui tidak memberikan kontribusi sebesar yang dilakukan kaum
urban, sehingga tidak dapat memperoleh manfaat dari pendapatan fai
sebanyak kaum urban. Mereka memiliki hak klaim sementara terhadap penerimaan fai
yaitu pada saat terjadi tiga kondisi kritis. Pertama, ketika terjadi invasi
musuh, Kedua, kemarau panjang (ja’ihah) dan Ketiga kerusuhan sipil (fatq).
Abu Ubaid memperluas cakupan kaum badui dengan memasukkan golongan masyarakat
pegunungan dan pedesaan.
3)
Kepemilikan dalam
Konteks Kebijakan Perbaikan Pertanian
Abu
Ubaid mengakui adanya kepemilikan pribadi dan kepemilikan publik. Pemikiran Abu
Ubaid yang khas mengenai hal ini adalah mengenai hubungan antara kepemilikan
dengan kebijakan perbaikan pertanian. Kebijakan pemerintah, seperti iqta’
(enfeoffment) tanah gurun dan deklarasi resmi terhadap kepemilikan
individual atas tanah tandus yang disuburkan, sebagai insentif untuk
meningkatkan produksi pertanian. Oleh karena itu, tanah yang diberikan dengan
persyaratan untuk diolah akan dibebaskan dari kewajiban membayar pajak, jika
dibiarkan menganggur selama tiga tahun bertururt-turut akan didenda dan
kemudian dialihkan kepemilikannya oleh penguasa.
Dalam
pandangan Abu Ubaid, sumber daya publik, seperti air, padang rumput, dan api
tidak boleh dimonopoli seperti hima’ (taman pribadi). Seluruh sumber
daya ini hanya dapat dimasukkan ke dalam kepemilikan negara yang akan digunakan
untuk memenuhi kebutuhan masyarakat.
4)
Reformasi Distribusi
Zakat
Abu
Ubaid sangat menentang pendapat yang menyatakan bahwa pembagian harta zakat
harus dilakukan secara merata diantara delapan kelompok penerima zakat dan
cenderung menentukan suatu batas tertinggi terhadap bagian perorangan. Bagi Abu
Ubaid, yang paling penting adalah memenuhi kebutuhan-kebutuhan dasar, seberapun
besarnya, serta menyelamatkan orang-orang dari bahaya kelaparan.[8]
Akan tetapi pada saat yang bersamaan Abu Ubaid tidak memberikan hak penerimaan
zakat kepada orang-orang yeng memiliki 40 dirham atau harta lainnya yang
setara, disamping baju, pakaian, rumah, dan pelayan yang dianggapnya sebagai
suatu kebutuhan standar hidup minimum. Disisi lain, seseorang yang memiliki 200
dirham, yakni jumlah minimum yang terkena wajib pajak sebagai “orang kaya” Abu
Ubaid mengenakan kewajiban zakat terhadap orang tersebut. Dengan pendekatan ini
maka Abu Ubaid mengindikasikan adanya tiga kelompok sosio-ekonomi yang terkait
dengan status zakat, yaitu:
a.
Kalangan kaya yang
terkena wajib zakat
b.
Kalangan menengah yang
tidak terkena wajib zakat, tetapi juga tidak berhak menerima zakat
c.
Kalangan penerima
zakat.
Berkaitan dengan distribusi
kekayaan melalui zakat, Abu Ubaid secara umum mengadopsi prinsip “bagi setiap
orang adalah menurut kebutuhannya masing-masing” (li kulli wahidin hasba
hajatihi). Lebih jauh, ketika membahas kebijakan penguasa dalam hal jumlah
zakat yang diberikan kepada pengumpulnya (amil), pada prinsipnya lebih
cenderung pada prinsip “bagi seseorang adalah sesuai dengan haknya.”
5)
Uang antara Fungsi dan
Alat
Pada prinsipnya, Abu Ubaid mengakui
adanya dua fungsi uang, yakni sebagai standar nilai pertukaran (standart of
exchange value) dan media pertukaran (medium of exchange). Dalam hal
ini ia menyatakan:
“Hal
yang tidak diragukan lagi bahwa emas dan perak tidak layak untuk apapun,
kecuali keduanya menjadi harta dari barang dan jasa. Keuntungan yang paling
tinggi yang dapat diperoleh dari kedua benda ini adalah penggunaannya untuk
membeli sesuatu (infaq).”[9]
Abu Ubaid merujuk pada kegunaan umum dan relatif
konstannya nilai emas dan perak dibandingkan dengan komoditas yang lainnya.
Jika kedua benda tersebut dijadikan sebagai komoditas, maka nilai dari keduanya
akan berubah-ubah. Karena dalam hal tersebut, keduanya akan memainkan dua peran
yang berbeda, yakni sebagai barang yang harus dinilai atau sebagai standar
penilaian dari barang-barang lainnya.
Pemikiran Abu Ubaid dalam kitabnya ingin menyatakan
bahwa segala kebijakan yang hanya menguntungkan sekelompok masyarakat dan
membebani sekelompok masyarakat lainnya harus dihindari negara semaksimal
mungkin. Pemerintah harus mengatur harta kekayaan negara agar dimanfaatkan demi
kepentingan bersama dan mengawasi hak kepemilikan pribadi agar tidak
disalahgunakan sehingga tidak menggangu atau mengurangi manfaat bagi masyarakat
umum.
II.
Pemikiran Ekonomi Yahya
bin Umar
Yahya
bin Umar merupakan salah seorang fuqaha madzhab Malaiki. Ulama yang bernama
lengkap Abu Bakar Yahya bin Umar bin Yusuf Al-Kannani Al-Andalusi, Ia lahir
pada tahun 213 H dan dibesarkan di Kordova, Spanyol. Ia berkelana ke berbagai
negeri untuk menuntut ilmu, mulai dari Mesir pindah ke Hijaz dan menetap di
Qairuwan, Afrika, kemudian menyempurnakan pendidikannya kepada seorang ahli
ilmu faraid dan hisab, Abu Zakaria Yahya bin Sulaiman Al-Farisi
setelah itu, Ia menjadi pengajar di Jami’ Al-Qairuwan. Pada masa hidupnya ini,
terjadi konflik yang menajam antara fuqaha Malikiyah dengan fuqaha Hanafiyah
yang dipicu oleh persaingan memperebutkan pengaruh dalam pemerintahan. Yahya
bin Umar terpaksa pergi dari Qairuwan dan menetap di Sausah. Dimana pada saat itu
di Sausah Ibnu ‘Abdun berusaha menyingkirkan para ulama penentangnya, baik
dengan cara memenjarakan maupun membunuh, menjabat qadi di negeri itu.
Setelah Ibnu ‘Abdun turun jabatan, Ibrahim bin Ahmad Al-Aglabi menawarkan
jabatan qadi kepada Yahya bin Umar. Namun, Ia menolaknya dan memilih
tetap tinggal di Sausah serta mengajar di Jami’ Al-Sabt hingga akhir hayatnya.
Yahya bin Umar wafat pada tahun 289 H (901 M).[10]
a.
Karya Yahya bin Umar
Disamping
aktif mengajar, Yahya bin Umar banyak menghasilkan karya tulis hingga mencapai
40 juz. Diantara berbagai karyanya yang terkenal adalah kitab Al-Muntakhabah
fi Ikhtishar Al-Mustakhrijah fi Al-Fiqh Al-Malaiki dan Ahkam As-Suq.
Kitab
Ahkam As-Suq, kitab Yahya bin
Umar yang paling terkenal dan berasal dari benua Afrika. Pada abad ketiga
Hijriyah merupakan kitab pertama di dunia Islam yang khusus membahas hisbah
dan berbagai hukum pasar. Munculnya hukum pasar dalam kitab Ahkam As-Suq
di pengaruhi oleh situasi kota Qairuwan, kota tersebut telah memiliki institusi
pasar yang permanen sejak 155 H, dan dilatarbelakangi oleh dua persoalan yang
mendasar. Yaitu pertama, hukum syara’ tentang perbedaan kesatuan timbangan dan
takaran perdagangan dalam satu wilayah; kedua, hukum syara’ tentang harga
gandum yang tidak terkendali akibat pemberlakuan liberalisasi harga, sehingga
dikhawatirkan dapat menimbulkan kemudharatan bagi para konsumen.
Dalam
membahas kedua persoalan itu, Yahya bin Umar menjelaskan secara komprehensif
yang disertai dengan diskusi panjang. Sebelum menjawabnya, ia menulis
mukaddimah secara terperinci tentang berbagai tanggung jawab pemerintah,
seperti kewajiban melakukan inspeksi pasar, mengontrol timbanngan dan takaran,
serta mengungkapkan perihal mata uang. Yahya bin Umar diyakini mengajarkan
kitab tersebut untuk pertama kalinya dikota Sausah pada masa pasca konflik.
b.
Pemikiran Yahya bin
Umar
Menurut
Yahya bin Umar aktivitas ekonomi merupakan bagian yang tak terpisahkan dari
ketakwaan seorang Muslim kepada Allah Swt. Disamping al-Qur’an setiap Muslim
harus berpegang teguh pada Sunnah dan mengikuti seluruh perintah Nabi Muhammad
Saw dalam melakukan setiap aktivitas ekonominya. Ia menyatakan bahwa keberkahan
akan selalu menyertai orang-orang yang bertakwa, sesuai dengan firman Allah
Swt:[11]
“Jikalau
sekiranya penduduk negeri-negeri beriman dan bertakwa, pastilah Kami akan
melimpahkan kepada mereka berkah dari langit dan bumi, tetapi mereka
mendustakan (ayat-ayat kami) itu, maka Kami siksa mereka disebabkan
perbuatannya. (Qs. Al-A’raf ayat 96)
Fokus
perhatian Yahya bin Umar tertuju pada hukum-hukum pasar yang merefleksikan
dalam pembahasan tentang tas’ir (penetapan harga). Berkaitan dengan hal
tersebut, Yahya bin Umar berpendapat bahwa al-tas’ir (penetapan harga)
tidak boleh dilakukan. Ia berhujjah dengan berbagai hadits Nabi Muhammad Saw,
antara lain:
“Dari
Anas bin Malik, ia berkata: “Telah melonjak harga (di pasar) pada masa
Rasulullah Saw, mereka (para sahabat) berkata: “Wahai Rasulullah, tetapkanlah
harga bagi kami.” Rasulullah menjawab: “Sesungguhnya Allah-lah yang menguasai
(harga), yang memberi rezeki, yang memudahkan, dan yang menetapkan harga. Aku
sungguh berharap bertemu dengan Allah dan tidak seorang pun (boleh) memintaku
untuk melakukan kedzaliman dalam
persoalan jiwa dan harga.” (Riwayat Abu
Dawud)
Jika
kita mencermati konteks hadits tersebut, tampak jelas bahwa Yahya bin Umar
melarang kebijakan penetapan harga (tas’ir). Jika kenaikan harga yang
terjadi adalah semata-mata hasil interaksi penawaran dan permintaan yang alami.
Pemerintah tidak mempunyai hak untuk melakukan intervensi harga. Yahya bin Umar
menyatakan bahwa pemerintah tidak boleh melakukan intervensi, kecuali dalam dua
hal, yaitu:
1.
Para pedagang tidak
memperdagangkan barang dagangan tertentu yang sangat dibutuhkan masyarakat,
sehingga dapat menimbulkan kemudaratan serta merusak mekanisme pasar. Dalam hal
ini, pemerintah dapat mengeluarkan para pedagang tersebut dari pasar serta
menggantikannya dengan pedagang lain berdasarkan kemaslahatan dan kemanfaatan
umum.
2.
Para pedagang melakukan
praktik siyasah al-ighraq atau banting harga (dumping) yang dapat
menimbulkan persaingan yang tidak sehat serta dapat mengacaukan stabilitas
harga pasar. Dalam hal ini, pemerintah berhak memerintahkan para pedagang
tersebut untuk menaikkan kembali harganya sesuai dengan harga berlaku di pasar.
Apabila mereka menolaknya, pemerintah berhak mengusir para pedagang tersebut
dari pasar.
Dari
kedua point diatas, menunjukkan bahwa sesungguhnya Yahya bin Umar mendukung
kebebasan ekonomi, termasuk kebebasan kepemilikan. Kebebasan ekonomi tersebut
berarti harga ditentukan oleh kekuatan pasar, yakni kekuatan penawaran (supply)
dan permintaan (demand). Akan tetapi, Yahya bin Umar menambahkan bahwa
mekanisme harga itu harus tunduk kepada kaidah-kaidah. Diantara kaidah-kaidah
tersebut adalah pemerintah berhak untuk melakukan intervensi ketika terjadi
tindakan sewenang-wenang dalam pasar yang dapat menimbulkan kemudaratan bagi
masyarakat.
c.
Wawasan Modern Teori
Yahya bin Umar
Sekalipun
tema utama yang diangkat dalam kitabnya, Ahkam As-Syuq adalah mengenai
hukum-hukum pasar, pada dasarnya konsep Yahya bin Umar lebih banyak terkait
dengan permasalahan ihtikar dan siyasah al-ighraq atau dalam ilmu
ekonomi kontemporer, kedua hal tersebut dikenal dengan istilah monopoly’s
rent-seeking dan dumping.
1.
Ihtikar
(monopoly’s rent-seeking)
Islam
secara tegas melarang Ihtikar, yakni mengambil keuntugan diatas
keuntungan normal dengan cara menjual lebih sedikit barang untuk harga yang
lebih tinggi. Rasululah Saw, menyatakan bahwa Ihtikar adalah perbuatan
berdosa. Para ulama’ sepakat bahwa illat pengharaman Ihtikar adalah
menimbulkan kemudaratan bagi umat manusia. Ihtikar tidak hanya merusak
mekanisme pasar, tetapi juga menghentikan keuntungan yang akan diperoleh orang
lain serta menghambat proses distribusi kekayaan diantara manusia.
Yahya
bin Umar menyatakan Ihtikar adalah timbulnya kemudaratan terhadap
masyarakat merupakan syarat pelarangan penimbunan barang. Apabila hal tersebut
terjadi, barang dagangan hasil timbunan tersebut harus dijual dan keuntungan
hasil penjualan ini disedekahkan sebagai pendidikan terhadap para pelaku Ihtikar.
Adapun para pelaku Ihtikar hanya berhak mendapatkan modal pokok
mereka. Selanjutnya, pemerintah memperingatkan para pelaku Ihtikar agar
tidak mengulangi perbuatannya, apabila mereka tidak memperdulikan peringatan
tersebut, pemerintah berhak menghukum mereka dengan memukul, lari mengelilingi
kota, dan memenjarakannya.
2.
Siyasah al-ighraq
atau dumping
Berbanding
terbalik dengan Ihtikar, Siyasah al-ighraq atau dumping bertujuan
meraih keuntungan dengan cara menjual barang pada tingkat harga yang lebih rendah
daripada harga yang berlaku dipasaran. Perilaku ini jelas dilarang dalam Islam
karena dapat menimbulkan kemudaratan bagi masyarakat luas.
Dalam
prakatiknya, Siyasah al-ighraq atau dumping baru dipandang
sebagai sebuah kebijakan perdagangan yang lebih menguntungkan oleh sebuah
perusahaan jika ditemukan dua hal, yaitu pertama, industri tersebut bersifat
kompetitif tidak sempurna, sehingga perusahaan dapat bertindak sebagai price
maker, bukan sebagai price taker; kedua, pasar harus tersegmentasi
sehingga penduduk didalam negeri tidak dapat dengan mudah membeli barang-barang
yang akan di ekspor.
Menurut
Rifa’at Al-Audi, pernyataan Yahya bin Umar yang melarang praktik banting harga (dumping)
bukan dimaksudkan untuk mencegah harga-harga menjadi murah. Pelarangan tersebut
dimaksudkan untuk mencegah dampak negatifnya terhadap mekanisme pasar dan
kehidupan masyarakat secara keseluruhan.
BAB III
PENUTUP
A.
Simpulan
Berdasarkan
hasil pembahasan mengenai pemikiran ekonomi Islam Abu Ubaid dan Yahya bin Umar,
dapat disimpulkan bahwa:
1.
Abu Ubaid bernama
lengkap Al-Qasim bin Sallam bin Miskin bin Zaid Al-Harawi Al-Azadi Al-Baghdadi
yang lahir pada tahun 150 H dikota Harrah, Khurasan, sebelah barat laut
Afghanistan. Pada tahun 219 H, setelah berhaji ia menetap di Makkah sampai
wafatnya. Ia meninggal pada tahun 224 H.
2.
Karya dari Abu Ubaid
yang paling terkenal adalah kitab al-Amwal yang secara khusus
memfokuskan perhatiannya pada masalah Keuangan Publik (Public Finance).
3.
Pemikiran ekonomi Abu
Ubaid adalah:
a.
Filosofi Hukum dari
Sisi Ekonomi
b.
Dikotomi Badui-Urban
c.
Kepemilikan dalam
Konteks Kebijakan Perbaikan Pertanian
d.
Reformasi Distribusi
Zakat
e.
Uang antara Fungsi dan
Alat
4.
Yahya bin Umar
merupakan salah seorang fuqaha madzhab Malaiki. Ulama yang bernama lengkap Abu
Bakar Yahya bin Umar bin Yusuf Al-Kannani Al-Andalusi, Ia lahir pada tahun 213
H dan dibesarkan di Kordova, Spanyol, dan wafat pada tahun 289 H (901 M).
5.
Diantara berbagai
karyanya yang terkenal adalah kitab Al-Muntakhabah fi Ikhtishar
Al-Mustakhrijah fi Al-Fiqh Al-Malaiki dan Ahkam As-Suq. Dan yang paling
terkenal ialah kitab Ahkam As-Suq.
6.
Fokus perhatian Yahya
bin Umar tertuju pada hukum-hukum pasar yang merefleksikan dalam pembahasan
tentang tas’ir (penetapan harga). Wawasan modern yang dilakukan oleh yahya
bin umar ialah:
a.
Ihtikar
(monopoly’s rent-seeking)
b.
Siyasah al-ighraq
atau dumping
B.
Saran
Belajar
dengan sejarah merupakan suatu pekerjaan yang baik. Karena sejarah merupakan
guru yang baik, dengan sejarah kita dapat belajar bagaimana atau apa yang akan
kita lakukan kedepannya. Sejarah ekonomi Islam melahirkan pemikiran-pemikiran
yang dapat kita aplikasikan dalam negara ini. Penguasa yang adil, mendahulukan
kebutuhan, mengutamakan kepentingan publik dari pada kepentingan pribadi.
Aktivitas ekonomi merupakan bagian yang tak terpisahkan dari ketakwaan seorang
Muslim kepada Allah Swt dan berpegang teguh pada Sunnah. Oleh karena itu,
pengaplikasian dari sejarah perlu dilakukan dengan nengedepankan kemashlahatan
bagi orang banyak, karena Islam sendiri adalah agama yang Rahmatan lil
alamin
DAFTAR
PUSTAKA
Adiwarman Azwar Karim, Sejarah Pemikiran Ekonomi
Islam, Raja Grafindo Persada, Jakarta, 2012
Afif Shidqi, Sejarah Perkembangan Ekonomi
Syariah, Fakultas Ilmu Pengetahuan Budaya, Depok, 2009
Boedi Abdullah, Peradaban Pemikiran Ekonomi
Islam, Pustaka Setia, Bandung, 2010
Hendri Tanjung, Abu Ubaid dan Perdagangan
Internasional, IQTISHODIA Jurnal Ekonomi Islam Republika, 2010, tersedia
di http://ftp.unpad.ac.id/koran/republika/2010-09-30/republika_2010-09-30_006.pdf, diakses pada 09
Oktober 2016 pukul 03.37 WIB
Johan Sidik Kantara, Pemikiran Ekonomi Abu Ubaid,
Forum Kajian Ekonomi Islam (FKEI) Bandung, Bandung, 2012
Prilia Kurnia Ningsih, Pemikiran Ekonomi Abu
Yusuf (731-798M) dan Abu Ubaid (154-224H), Universitas Syarif Hidayatullah
Jakarta, Jakarta, 2013
[1] Johan Sidik Kantara, Pemikiran
Ekonomi Abu Ubaid, Forum Kajian Ekonomi Islam (FKEI) Bandung, Bandung,
2012, hlm 1
[2] Prilia Kurnia Ningsih, Pemikiran
Ekonomi Abu Yusuf (731-798M) dan Abu Ubaid (154-224H), Universitas Syarif
Hidayatullah Jakarta, Jakarta, 2013, hlm 2
[3] Adiwarman Azwar Karim, Sejarah
Pemikiran Ekonomi Islam, Raja Grafindo Persada, Jakarta, 2012, hlm 264
[4] Afif Shidqi, Sejarah
Perkembangan Ekonomi Syariah, Fakultas Ilmu Pengetahuan Budaya, Depok,
2009, hlm 60-62
[6] Hendri
Tanjung, Abu Ubaid dan Perdagangan Internasional, IQTISHODIA Jurnal Ekonomi
Islam Republika, 2010, tersedia di http://ftp.unpad.ac.id/koran/republika/2010-09-30/republika_2010-09-30_006.pdf, diakses pada 09 Oktober 2016 pukul 03.37 WIB
No comments:
Post a Comment