Thursday 1 December 2016

Makalah Kafalah dan Hawalah

     A. Latar Belakang Masalah
Islam adalah agama yang paling sempurna dan komprehensif, mencakup dan mengatur segala urusan kehidupan manusia, baik yang berkaitan dengan masalah akidah (keyakinan), ibadah (ritual), muamalah (interaksi sesama makhluk), ekonomi, politik, maupun akhlak dan adab.
Berbicara mengenai fiqih muamalah yang membahas mengenai hukum-hukum syara’ tentang melakukan interaksi dengan orang lain dalam jual beli dan semacamnya. Pembahasan tersebut salah satunya membahas kafalah dan hiwalah yang aplikasinya terterap di perbankan syari’ah.
Perbankan islam yang bebas bunga dalam menjual produk-produknya mendapatkan pendapatan dari bagi hasil, margin, biaya administrasi dan fee. Pada bab selanjutnya akan dibahas mengenai kafalah dan hiwalah dan aplikasinya dalam lembaga keuangan syari’ah.

      B. Rumusan Masalah
           Berdasarkan latar belakang di atas, maka rumusan masalahnya adalah:
1.      Apa pengertian, dasar hukum, rukun, syarat serta jenis dari kafalah?
2.      Apa pengertian, landasan, rukun serta syarat dari hawalah?
3.      Apa hubungan antara kafalah dan hawalah?

       C. Tujuan
            Berdasarkan rumusan masalah di atas, maka tujuan penyusunan makalah ini adalah:
1.      Untuk memaparkan tentang pengertian, dasar hukum, rukun, syarat serta jenis dari kafalah.
2.      Untuk memaparkan pengertian, landasan, rukun serta syarat dari hawalah.
3.      Untuk memaparkan hubungan antara kafalah dan hawalah.

BAB II
PEMBAHASAN
A. AKAD KAFALAH
1.      Definisi Akad Kafalah
Al-kafalah menurut bahasa berarti al-dhaman (jaminan), hamalah (beban) dan za’mah (tanggungan). Sedangkan menurut istilah yang dimaksud dengan al-kafalah atau al-dhamam sebagaimana dijelaskan oleh para ulama adalah sebagi berikut.
a.       Menurut Sayyid Sabiq, al-kafalah adalah proses penggabungan tanggungan kafil menjadi beban ashil dalam tuntutan dengan benda (materi) yang sama, baik utang, barang, maupun pekerjaan.
b.      Menurut Imam Taqiy, al-kafalah adalah mengumpulkan satu beban kepada beban lain.
c.       Menurut Hasbi Ash-Shidiqie, al-kafalah adalah menggabungkan dzimmah kepada dzimmah lain dalam penagihan.
Dari beberapa pengertian al-kafalah menurut para ulama di atas, maka dapat disimpulkan bahwa yang dimaksud dengan al-kafalah atau al-dhaman ialah menggabungkan dua beban (tanggungan) dalam permintaan dan utang.[1]
Kafalah merupakan jaminan yang diberikan oleh penanggung (kafil) kepada pihak ketiga untuk memenuhi kewajiban pihak kedua atau yang ditanggung. Dalam pengertian lain, kafalah juga berarti mengalihkan tanggung jawab seseorang yang dijamin dengan berpegang pada tanggung jawab orang lain sebagai penjamin.[2]

2.      Dasar Hukum al-Kafalah
Kafalah disyaratkan oleh Allah Swt, terbukti dengan firman-Nya:
 قل لن آرسلہ معکم حتی تؤتون مو ثقا من الل لتلتننی بہ (یو سف : 66)
Artinya: “ Aku tidak membiarkannya pergi bersamamu, sebelum kau memberikan janji yang  teguh atas nama Allah, bahwa kamu pasti membawanya kembali kepadaku”. (Yusuf: 66).
Dasar hukum al-kafalah yang kedua yaitu As-Sunnah, dalam hal ini Rasulullah Saw, bersabda:
العاریۃ مؤذۃ والزعیم غا رم (رواہ ابو داود)
Artinya: “pinjaman hendaklah dikembalikan dan yang menjamin hendaklah membayar”. (Riwayat Abu Dawud).[3]
3.      Rukun dan Syarat
Rukun kafalah terdiri atas sighat kafalah (ijab qabul), makful bih (objek tanggungan), kafil (penjamin), makful ‘anhu (tertanggung) dan makful lahu (penerima hak tanggungan).
a.       Sighat kafalah bisa diekspresikan dengan ungkapan yang menyatakan adanya kesanggupan untuk menaggung sesuatu, sebuah kesanggupan untuk menunaikan kewajiban. Seperti ungkapan “ aku akan menjadi penjaminmu “ atau “saya akan menjadi penjamin atas kewajibanmu terhadap seseorang” atau ungkapan lain yang sejenis. Ulama’ tidak mensyaratkan kalimat verbal yang harus diucapkan dalam akad kafalah, semuanya dikembalikan kepada adat kebiasaan. Intinya ungkapan tersebut menyatakan kesanggupan untuk menjamin sebuah kwajiban. 

b.      Makful bihi. Objek pertanggungan harus mengikat terhadap diri tertanggung, dan tidak bisa dibatalkan tanpa adanya sebab syar’i. selain itu, objek tersebut harus merupakan tanggung jawab penuh oleh pihak tertanggung. Seperti menjamin harga atas transaksi barang sebelum serah terima, menanggung beban hutang yang bersifat mengikat terhadap diri seseorang. Selain itu, nominal objek pertanggungan harus jelas. Tidak diperbolehkan menanggung sesuatu yang tidak jelas ( majhul ). Namun demikian, sebagian ulama’ fiqih membolehkan menanggung objek pertanggungan yang bersifat majhul. Hal ini disandarkan pada hadits Rasulullah,” Barang siapa dari orang-orang mukmin yang meninggalkan tanggungan hutang, maka pembayarannya menjadi kwajibanku”. Berdasarkan hadits ini, nilai objek pertanggungan yang dijamin oleh Rasulullah bersifat majhul, dengan demikian hal tersebut diperbolehkan.


c.       Kafil. Ulama’ fiqh mensyaratkan, seorang kafil haruslah orang yang berjiwa filantropi, yaitu orang yang terbiasa berbuat baik demi kemaslahatan orang lain. Selain itu, ia juga orang yang telah baligh dan berakal. Akad kafalah tidak boleh dilakukan oleh anak kecil, orang-orang safih ataupun orang yang terhalang untuk melakukan transaksi ( mahjur ‘alaih ).
Karena bersifat charity, akad kafalah harus dilakukan oleh seorang kafil dengan penuh kebebasan, tanpa adanya paksaan. Ia memiliki kebebasan penuh guna menjalankan pertanggungan. Karena, dalam akad ini, kafil tidak memiliki hak untuk merujuk pertanggungan yang telah ditetapkan.

d.      Makful ‘anhu. Syarat utama yang harus melekat pada diri tertanggung (makful ‘anhu) adalah kemampuannya untuk menerima objek pertanggungan, baik dilakukan oleh diri pribadinya atau orang lain yang mewakilinya. Selain itu, makful ‘anhu harus dikenal baik oleh pihak kafil.

e.       Makful lahu. Ulama’ mensyaratkan, makful lahu harus dikenal oleh kafil, guna meyakinkan pertanggungan yang menjadi bebannya dan mudah untuk memenuhinya. Selain itu, ia juga disyaratkan untuk menghadiri majlis akad. Ia adalah orang yang baligh dan berakal, tidak boleh orang gila atau anak kecil yang belum berakal.[4]

Sedangkan syarat-syarat dari akad kafalah, yaitu:
a.       Objek akad harus jelas dan dapat dijaminkan; dan
b.      Tidak bertentangan dengan syariat islam.[5]

4.      Jenis Kafalah
Secara umum, akad kafalah dapat dibedakan menjadi dua yaitu:
a.       Al-kafalah bil-mal merupakan jaminan pembayaran barang atau pelunasan hutang. Sedangkan,

b.      al-kafalah bin-nafs merupakan akad pemberian jaminan atas diri (personal guarantee). Sebagai contoh dalam praktik perbankan, seorang nasabah mendapat pembiayaan dengan jaminan reputasi dan nama baik seseorang atau tokoh masyarakat. Walaupun secara fisik pihak bank tidak memegang jaminan, tetapi bank berharap tokoh tersebut dapat mengusahakan pembayaran ketika nasabah mengalami kesulitan.
Akad kafalah bil-mal akan berakhir ketika objek pertanggungan sudah terbayarkan kepada penerima tanggungan, baik oleh tertanggung maupun dari pihak kafil. Pihak penerima tanggungan melakukan hibah atas objek pertanggungan, baik kepada pihak tertanggung maupun kepada kafil. Atau juga adanya pembebasan tanggungan atau hal lain yang dipersamakan dengan hal itu, dari pihak penerima tanggungan (makful lahu).
Akad kafalah bin-nafs akan berakhir ketika makful bihi telah menyerahkan diri dan hadir dihadapan makful lahu, dan menyelesaikan akad pertanggungan. Dan kafil mendapatkan pembebasan dari makful lahu, maka akad kafalah berakhir, atau ketika makful ‘anhu meninggal dunia.[6]

c.       Upah (fee) dalam Akad Kafalah
Ulama’ fiqih berpendapat bahwa, dalam akad kafalah, seorang kafil tidak diperkenankan mengambil fee (upah) atas jasa pertanggungan yang telah diberikan kepada makful ‘anhu. Dengan alasan, akad kafalah merupakan akad tabarru’ (sumbangan atau amal), bukan akad komersial yang berhak untuk mendapatkan kompensasi.
Hal ini berbeda dengan akad wakalah. Dalam wakalah, seorang wakil berhak menerima upah (fee) atas jasa perwakilan yang telah ditunaikan, dan hal ini diperbolehkan secara syara’. Fee atas akad wakalah, bersandar dari hadits Nabi yang menyatakan bahwa Rasulullah mengutus beberapa duta guna menarik harta zakat, dan mereka menerima fee atas usaha yang telah dilakukan.
Namun demikian, sebagian ulama’ fiqh menyatakan, barang siapa melakukan ussaha yang bermanfaat bagi orang lain, maka ia berhak menerima kompensasi, baik dipersyaratkan atau tidak. Tidak diragukan lagi bahwa akad kafalah merupakan akad yang bermanfaat, sehingga ia berhak mendapat kompensasi. Walaupun tidak dipersyaratkan oleh kafil. Hal ini disandarkan pada hadits Nabi saw yang menyatakan bahwa “barang siapa berbuat kebajikan kepada orang lain, maka ia berhak mendapat kompensasi”, hadits diriwayatkan Hakim dari Ibnu Umar ra.[7]

      B. AKAD HAWALAH
1.      Definisi Akad Hawalah
Secara linguistik, hawalah bermakna perpindahan. Menurut istilah Hanafiyah, hawalah adalah akad perpindahan penagihan hutang dari orang yang berhutang kepada orang lain yang wajib menanggungnya. Dalam istilah ulama’ fiqh, hawalah merupakan pemindahan beban hutang dari muhil (orang yang berhutang) menjadi tanggungan muhal’alaih atau orang yang berkewajiban membayar hutang.
Dengan demikian, hal ini dapat dijelaskan bahwa A (muhal) memberi pinjaman kepada B (muhil), sedangkan B masih mempunyai piutang pada C (muhal’alaih). Begitu pihak B tidak mampu membayar hutangnya pada A, ia lalu mengalihkan beban hutang tersebut kepada pihak C. dengan demikian, pihak C yang harus membayar hutang B kepada A, sedangkan hutang C sebelumnya pada B dianggap selesai. 
2.      Landasan Syariah
Akad hawalah diperbolehkan berdasarkan sunnah dari ijma’ ulama’. Diriwayatkan dari Imam Bukhari dari Abu Hurairah, Rasulullah bersabda; “Menunda-nunda pembayaran hutang yang dilakukan oleh orang mampu adalah suatu kedzaliman. Maka, jika seseorang diantara kamu dialihkan hak penagih piutangnya (di-hawalah-kan) kepada pihak yang mampu, maka terimalah”.
Pada hadits tersebut, Rasulullah memberitahukan kepada orang yang mengutangkan, jika orang yang berhutang meng-hawalah-kan kepada orang yang mampu, hendaklah ia menerima hawalah tersebut, dan hendaklah ia menagih kepada orang yang di-hawalah-kan. Dengan demikian, hak dapat terpenuhi. Ulama’ sepakat (ijma’) membolehkan akad hawalah. Dengan catatan, hawalah dilakukan atas hutang yang tidak berbentuk barang/benda, karena hawalah adalah proses pemindahan hutang, bukan pemindahan barang/benda.
3.      Rukun dan Syarat
Menurut Hanafiyah, rukun hawalah hanya terdiri dari Ijab dari pihak muhil, yakni orang yang berhutang dan sekaligus berpiutang, dan Qabul dari pihak muhal atau muhtal, yakni orang yang berpiutang kepada muhil. Mereka menambahkan, akad hawalah harus didasakran pada kerelaan dan keridlaan pihak muhal’alaih, yakni orang yang berhutang pada muhil dan wajib membayar hutang kepada muhtal, karena ia merupakan pihak yang harus menanggung beban hutang yang ada.
Menurut mayoritas ulama’, rukun hawalah terdiri atas muhil (orang yang berhutang dan sekaligus berpiutang), muhal atau muhtal (orang yang berpiutang kepada  muhil), muhal’alaih (orang yang berhutang pada muhil dan wajib membayar hutang kepada muhtal), muhal bih (hutang muhil kepada muhtal) dan sighat (ijab qabul).
Ulama’ fiqh menetapkan beberapa syarat terkait dengan rukun hawalah, yaitu:
a.       Muhil, adalah orang yang berakal dan baligh. Akad hawalah tidak sah dilakukan oleh anak kecil atau orang gila yang tidak berakal. Selain itu, akad hawalah harus berjalan dengan persetujuan dan kesepakatan muhil, karena di sini berlaku konsep ibra’ (pembebasan) hutang yang bermakna pemindahan kepemilikan.

b.      Muhal, haruslah orang yang berakal dan sudah baligh, dan ada persetujuan dan juga kerelaannya untuk menerima hawalah dalam majlis akad.


c.       Muhal’alaih, syarat yang ada atas diri muhal atau muhtal, juga berlaku pada diri muhal’alaih.

d.      Muhal bih harus berupa hutang dan bersifat mengikat. Artinya adanya hutang dari pihak muhil kepada muhal, dan hutang tersebut bersifat mengikat. Malikiyah menambahkan, hutang yang ada sudah jatuh tempo dan nominal hutang harus sama dengan hutang yang dimiliki oleh muhal’alaih.


Ketika akad hawalah telah disepakati, maka muhil terbebas dari tuntutan hutang (bara’ah) dari pihak muhal. Penagihan hutang akan berpindah dari pihak muhil kepada muhal’alaih, artinya ketika muhal ingin menagih hutang, maka ia harus datang kepada muhal’alaih, bukan kepada muhil. Ulama berbeda pendapat tentang peralihan hak ini.
Abu Hanifah dan Abu Yusuf menyatakan, perpindahan hak itu meliputi hak penagihan dan pembayaran hutang sekaligus, yakni dari pihak muhil beralih kepada pihak muhal‘alaih,. Akan tetapi, pembayaran hutang itu akan kembali lagi kepada muhil, ketika muhal’alaih mengalami kebangkrutan atau meninggal dunia.
Menurut Imam Muhammad, yang berpindah hanyalah hak penagihan saja, bukan hak pembayaran nominal hutang yang ada. Beban pembayaran hutang tetap melekat pada diri muhil. Menurut Zafar, hak penagihan dan pembayaran hutang tidak bisa berpindah kepada muhal’alaih, muhal’alaih hanyalah sebagai penanggung (kafil) bagi muhil ketika ia tidak mampu membayar. Menurut pendapat yang rajih, muhal memilki hak untuk melakukan penagihan dan pembayaran nominal hutang dari muhal’alaih.
Akad hawalah akan berakhir ketika terjadi pembatalan, dan muhal memiliki hak untuk melakukan penagihan kembali kepada muhil. Menurut Hanafiyah, ketika muhal’alaih mengalami kebangkrutan, maka akad dinyatakan berakhir dan hak penagihan beralih kepada muhil. Menurut Hanabalah, Syafi’iyah dan Malikiyah, ketika akad hawalah telah dilakukan secara sempurna, hak penagihan dan beban hutang tidak bisa dialihkan kembali kepada muhil.
Jika muhal’alaih mengalami kebangkrutan dan muhal tidak diberitahu oleh muhil, maka ia tetap berhak melakukan penagihan terhadap muhil. Karena, ia diibaratkan membeli sesuatu yang bersifat majhul (tidak diketahui) dan mengandung unsur gharar (ketidakpastian).[8]
C.    Kaitan Kafalah dan Hawalah dalam Lembaga Keuangan Syariah
1.       Kaitan Kafalah Dalam Perbankan Syariah
a.       Kafalah bin-Nafs
Misalkan seorang nasabah yang mendapatkan pembiayaan dengan jaminan nama baik dan ketokohan seseorang atau pemuka masyarakat. Walaupun bank secara fisik tidak memegang barang apapun , tetapi bank berharap tokoh tersebut dapat mengusahakan pembayaran ketika nasabah yang di biayai mengalami kesulitan.

b.      Kafalah bit-Taslim
Jenis pemberian jaminan ini dapat di laksanakan oleh bank untuk kepentingan nasabahnya dalam bentuk kerjasama dengan perusahaan penyewaan (leasing company). Jaminan pembayaran bagi bank dapat berupa deposito/tabungan dan bank dapat membebankan uang jasa (fee) kepada nasabah itu.

c.       Kafalah al-Munjazah
Pemberian jaminan dalam bentuk performance bonds “jaminan prestasi”, suatu hal yang lazim di kalangan perbankan dan hal ini sesuai dengan bentuk akad.[9]

d.      Bank Garansi
Bank Garansi merupakan jaminan pembayaran yang di berikan oleh bank kepada suatu pihak, baik perorangan, perusahaan, badan, atau lembaga keuangan lainnya dalam bentuk surat jaminan.

e.       Syariah Card
Kafalah dapat di aplikasikan dalam  syariah card di samping menggunakan akad qard, ariyah atau ijarah. Kafalah dalam hal penerbit kartu adalah penjamin (kafil) bagi pemegang kartu terhadap Merchant atas semua kewajiban bayar (dayn) yang timbul dari transkasi antara pemegang kartu dengan Merchant, dan/atau penarikan tunai dari selain bank atau ATM bank penerbit kartu.

f.       Asuransi Syariah (takaful)
Perusahaan asuransi merupakan pihak penanggung atau penjamin, sedangkan peserta asuransi adalah pihak tertanggung atau yang di jamin. dimana pihak yang terjamin di wajibkan membayar premi asuransi dalam masa tertentu, lalu pihak yang menjamin akan mengganti kerugian jika terjadi sesuatu pada diri si terjamin.

2.       Kaitan Hawalah Dalam Perbankan Syariah
Aplikasi Hawalah Dalam Dunia Perbankan. Fikih kontemporer, khususnya dalam dunia perbankan, mengembangkan konsep hawalah ini dalam beberapa bentuk, antara lain bilyet giro cek bertempo. Dalam hal ini, kita contohkan seorang penulis buku yang mendapatkan royalti dari sebuah penerbit. Ketika jatuh tempo membayar royalti, penerbit memberikan giro yang berisi jumlah uang tertentu yang bisa dicairkan antara penerbit dan bank. Adapun hal-hal yang diterapkan dalam perbankan syariah, yaitu:
a.       Factoring atau anjak piutang, dimana para nasabah yang memiliki piutang pada pihak ketiga memindahkan piutang itu kepada bank, lalu bank membayar piutang tersebut dan bank menagihnya dari pihak ketiga itu.
b.      Post-dated check, dimana bank bertindak sebagai juru tagih, tanpa membayarkan dulu piutang tersebut.
c.       Bill discounting, secara prinsip bill discounting serupa dengan hiwalah.hanya saja, dalam bill discounting, nasabah harus membayar fee, sedangkan dalam hiwalah tidak terdapat pembahasan fee.[10]


BAB III
PENUTUP
      A. Simpulan
Dari pembahasan di atas, dapat ditarik simpulan bahwa:
1.      Kafalah adalah jaminan yang diberikan oleh penanggung (kafil) kepada pihak ketiga untuk memenuhi kewajiban pihak kedua atau yang ditanggung.
2.      Hawalah adalah akad perpindahan penagihan hutang dari orang yang berhutang (muhil) kepada orang lain yang wajib menanggungnya (muhal’alaih).
3.      Kaitan Kafalah Dalam Perbankan Syariah
a.      Kafalah bin-Nafs
b.      Kafalah bit-Taslim
c.       Kafalah al-Munjazah
d.      Bank Garansi
e.       Syariah Card
f.       Asuransi Syariah (takaful)
Kaitan Hawalah Dalam Perbankan Syariah
a.       Factoring atau anjak piutang
b.      Post-dated check
c.       Bill discounting

B. Saran
Demikianlah makalah yang dapat kami susun mengenai materi yang menjadi pokok bahasan dalam makalah ini. Penulis banyak berharap kepada para pembaca untuk memberikan kritik dan saran yang membangun demi sempurnanya makalah ini. Semoga makalah ini berguna bagi penulis pada khususnya juga pada pembaca pada umumnya.

DAFTAR PUSTAKA
Ascarya, Akad dan Produk Bank Syariah, PT Raja Grafindo Persada, Jakarta, 2007.
Djuwaini Dimyauddin, Pengantar Fiqih Muamalah, Pustaka Pelajar, Yogyakarta, 2008.
Suhendi Hendi, Fiqih Muamalah, PT Raja Grafindo Persada, Jakarta, 2002





[1] Hendi Suhendi, Fiqih Muamalah, PT. Raja Grafindo Persada, Jakarta, 2002, hlm.187-189
[2] Dimyauddin Djuwaini, Pengantar Fiqih Muamalah, Pustaka Pelajar, Yogyakarta, 2008, hlm. 247
[3] Hendi Suhendi, Op.cit., 2002,  hlm. 189-190
[4] Dimyauddin Djuwaini, op.cit., 2008,  hlm. 248-250
[5] Ascarya, Akad dan Produk Bank Syariah, PT Rajagrafindo Persada, Jakarta, 2007, hlm. 106
[6] Dimyauddin Djuwaini, Op.Cit., 2008, hlm. 250-251
[7] Dimyauddin Djuwaini, Op.Cit., 2008, hlm. 251-252
[8] Dimyauddin Djuwaini, Op.Cit., 2008, hlm. 258-261
[9] Sutan Remy Sjahdeini, Perbankan Syariah, (Jakarta: Kencana Prenadamedia Group, 2014), hal.342-345
[10] Ibid, 346

No comments:

Post a Comment