A. Latar
Belakang Masalah
Islam adalah agama yang paling
sempurna dan komprehensif, mencakup dan mengatur segala urusan kehidupan
manusia, baik yang berkaitan dengan masalah akidah (keyakinan), ibadah
(ritual), muamalah (interaksi sesama makhluk), ekonomi, politik, maupun akhlak
dan adab.
Berbicara mengenai fiqih muamalah
yang membahas mengenai hukum-hukum syara’ tentang melakukan interaksi dengan
orang lain dalam jual beli dan semacamnya. Pembahasan tersebut salah satunya
membahas kafalah dan hiwalah yang aplikasinya terterap di perbankan syari’ah.
Perbankan islam yang bebas bunga
dalam menjual produk-produknya mendapatkan pendapatan dari bagi hasil, margin,
biaya administrasi dan fee. Pada bab selanjutnya akan dibahas mengenai kafalah
dan hiwalah dan aplikasinya dalam lembaga keuangan syari’ah.
B. Rumusan
Masalah
Berdasarkan latar belakang di atas, maka
rumusan masalahnya adalah:
1. Apa
pengertian, dasar hukum, rukun, syarat serta jenis dari kafalah?
2. Apa
pengertian, landasan, rukun serta syarat dari hawalah?
3. Apa hubungan antara kafalah dan hawalah?
C. Tujuan
Berdasarkan rumusan masalah di
atas, maka tujuan penyusunan makalah ini adalah:
1. Untuk memaparkan tentang pengertian,
dasar hukum, rukun, syarat serta jenis dari kafalah.
2. Untuk memaparkan pengertian,
landasan, rukun serta syarat dari hawalah.
3. Untuk memaparkan hubungan antara kafalah dan hawalah.
BAB
II
PEMBAHASAN
A. AKAD
KAFALAH
1. Definisi
Akad Kafalah
Al-kafalah
menurut bahasa berarti al-dhaman (jaminan), hamalah (beban) dan za’mah
(tanggungan). Sedangkan menurut istilah yang dimaksud dengan al-kafalah
atau al-dhamam sebagaimana dijelaskan oleh para ulama adalah sebagi
berikut.
a.
Menurut Sayyid Sabiq, al-kafalah
adalah proses penggabungan tanggungan kafil menjadi beban ashil
dalam tuntutan dengan benda (materi) yang sama, baik utang, barang, maupun
pekerjaan.
b.
Menurut Imam Taqiy, al-kafalah
adalah mengumpulkan satu beban kepada beban lain.
c.
Menurut Hasbi
Ash-Shidiqie, al-kafalah adalah menggabungkan dzimmah kepada dzimmah
lain dalam penagihan.
Dari beberapa pengertian al-kafalah
menurut para ulama di atas, maka dapat disimpulkan bahwa yang dimaksud dengan al-kafalah
atau al-dhaman ialah menggabungkan dua beban (tanggungan) dalam
permintaan dan utang.[1]
Kafalah merupakan jaminan yang
diberikan oleh penanggung (kafil) kepada pihak ketiga untuk memenuhi
kewajiban pihak kedua atau yang ditanggung. Dalam pengertian lain, kafalah juga
berarti mengalihkan tanggung jawab seseorang yang dijamin dengan berpegang pada
tanggung jawab orang lain sebagai penjamin.[2]
2. Dasar
Hukum al-Kafalah
Kafalah
disyaratkan oleh Allah Swt, terbukti dengan firman-Nya:
قل لن آرسلہ معکم حتی تؤتون مو ثقا من الل
لتلتننی بہ (یو سف : 66)
Artinya: “ Aku tidak membiarkannya
pergi bersamamu, sebelum kau memberikan janji yang teguh atas nama Allah, bahwa kamu pasti
membawanya kembali kepadaku”. (Yusuf: 66).
Dasar hukum al-kafalah
yang kedua yaitu As-Sunnah, dalam hal ini Rasulullah Saw, bersabda:
العاریۃ
مؤذۃ والزعیم غا رم (رواہ ابو داود)
Artinya:
“pinjaman hendaklah dikembalikan dan yang menjamin hendaklah membayar”.
(Riwayat Abu Dawud).[3]
3. Rukun
dan Syarat
Rukun kafalah terdiri atas sighat
kafalah (ijab qabul), makful bih (objek tanggungan), kafil (penjamin),
makful ‘anhu (tertanggung) dan makful lahu (penerima hak
tanggungan).
a. Sighat
kafalah bisa diekspresikan dengan ungkapan yang
menyatakan adanya kesanggupan untuk menaggung sesuatu, sebuah kesanggupan untuk
menunaikan kewajiban. Seperti ungkapan “ aku akan menjadi penjaminmu “ atau
“saya akan menjadi penjamin atas kewajibanmu terhadap seseorang” atau ungkapan
lain yang sejenis. Ulama’ tidak mensyaratkan kalimat verbal yang harus
diucapkan dalam akad kafalah, semuanya dikembalikan kepada adat kebiasaan.
Intinya ungkapan tersebut menyatakan kesanggupan untuk menjamin sebuah
kwajiban.
b. Makful
bihi. Objek
pertanggungan harus mengikat terhadap diri tertanggung, dan tidak bisa
dibatalkan tanpa adanya sebab syar’i. selain itu, objek tersebut harus
merupakan tanggung jawab penuh oleh pihak tertanggung. Seperti menjamin harga
atas transaksi barang sebelum serah terima, menanggung beban hutang yang
bersifat mengikat terhadap diri seseorang. Selain itu, nominal objek
pertanggungan harus jelas. Tidak diperbolehkan menanggung sesuatu yang tidak
jelas ( majhul ). Namun demikian, sebagian ulama’ fiqih
membolehkan menanggung objek pertanggungan yang bersifat majhul. Hal ini
disandarkan pada hadits Rasulullah,” Barang siapa dari orang-orang mukmin yang
meninggalkan tanggungan hutang, maka pembayarannya menjadi kwajibanku”.
Berdasarkan hadits ini, nilai objek pertanggungan yang dijamin oleh Rasulullah
bersifat majhul, dengan demikian hal tersebut diperbolehkan.
c. Kafil.
Ulama’ fiqh mensyaratkan, seorang kafil haruslah orang yang berjiwa filantropi,
yaitu orang yang terbiasa berbuat baik demi kemaslahatan orang lain. Selain
itu, ia juga orang yang telah baligh dan berakal. Akad kafalah tidak
boleh dilakukan oleh anak kecil, orang-orang safih ataupun orang yang terhalang
untuk melakukan transaksi ( mahjur ‘alaih ).
Karena
bersifat charity, akad kafalah harus dilakukan oleh seorang kafil dengan
penuh kebebasan, tanpa adanya paksaan. Ia memiliki kebebasan penuh guna
menjalankan pertanggungan. Karena, dalam akad ini, kafil tidak memiliki hak
untuk merujuk pertanggungan yang telah ditetapkan.
d.
Makful ‘anhu.
Syarat utama yang harus melekat pada diri tertanggung (makful ‘anhu)
adalah kemampuannya untuk menerima objek pertanggungan, baik dilakukan oleh
diri pribadinya atau orang lain yang mewakilinya. Selain itu, makful ‘anhu
harus dikenal baik oleh pihak kafil.
e.
Makful lahu.
Ulama’ mensyaratkan, makful lahu harus dikenal oleh kafil, guna
meyakinkan pertanggungan yang menjadi bebannya dan mudah untuk memenuhinya.
Selain itu, ia juga disyaratkan untuk menghadiri majlis akad. Ia adalah orang
yang baligh dan berakal, tidak boleh orang gila atau anak kecil yang belum
berakal.[4]
Sedangkan
syarat-syarat dari akad kafalah, yaitu:
a. Objek
akad harus jelas dan dapat dijaminkan; dan
b. Tidak
bertentangan dengan syariat islam.[5]
4. Jenis
Kafalah
Secara umum,
akad kafalah dapat dibedakan menjadi dua yaitu:
a.
Al-kafalah bil-mal
merupakan jaminan pembayaran barang atau pelunasan hutang. Sedangkan,
b.
al-kafalah bin-nafs
merupakan akad pemberian jaminan atas diri (personal guarantee). Sebagai
contoh dalam praktik perbankan, seorang nasabah mendapat pembiayaan dengan
jaminan reputasi dan nama baik seseorang atau tokoh masyarakat. Walaupun secara
fisik pihak bank tidak memegang jaminan, tetapi bank berharap tokoh tersebut
dapat mengusahakan pembayaran ketika nasabah mengalami kesulitan.
Akad kafalah bil-mal akan
berakhir ketika objek pertanggungan sudah terbayarkan kepada penerima
tanggungan, baik oleh tertanggung maupun dari pihak kafil. Pihak
penerima tanggungan melakukan hibah atas objek pertanggungan, baik kepada pihak
tertanggung maupun kepada kafil. Atau juga adanya pembebasan tanggungan
atau hal lain yang dipersamakan dengan hal itu, dari pihak penerima tanggungan (makful
lahu).
Akad
kafalah bin-nafs akan berakhir ketika makful bihi telah
menyerahkan diri dan hadir dihadapan makful lahu, dan menyelesaikan akad
pertanggungan. Dan kafil mendapatkan pembebasan dari makful lahu,
maka akad kafalah berakhir, atau ketika makful ‘anhu meninggal
dunia.[6]
c.
Upah (fee) dalam
Akad Kafalah
Ulama’
fiqih berpendapat bahwa, dalam akad kafalah, seorang kafil tidak
diperkenankan mengambil fee (upah) atas jasa pertanggungan yang telah
diberikan kepada makful ‘anhu. Dengan alasan, akad kafalah
merupakan akad tabarru’ (sumbangan atau amal), bukan akad komersial yang
berhak untuk mendapatkan kompensasi.
Hal
ini berbeda dengan akad wakalah. Dalam wakalah, seorang wakil
berhak menerima upah (fee) atas jasa perwakilan yang telah ditunaikan,
dan hal ini diperbolehkan secara syara’. Fee atas akad wakalah,
bersandar dari hadits Nabi yang menyatakan bahwa Rasulullah mengutus beberapa
duta guna menarik harta zakat, dan mereka menerima fee atas usaha yang
telah dilakukan.
Namun
demikian, sebagian ulama’ fiqh menyatakan, barang siapa melakukan ussaha yang
bermanfaat bagi orang lain, maka ia berhak menerima kompensasi, baik
dipersyaratkan atau tidak. Tidak diragukan lagi bahwa akad kafalah
merupakan akad yang bermanfaat, sehingga ia berhak mendapat kompensasi.
Walaupun tidak dipersyaratkan oleh kafil. Hal ini disandarkan pada
hadits Nabi saw yang menyatakan bahwa “barang siapa berbuat kebajikan kepada
orang lain, maka ia berhak mendapat kompensasi”, hadits diriwayatkan Hakim dari
Ibnu Umar ra.[7]
B. AKAD
HAWALAH
1. Definisi
Akad Hawalah
Secara linguistik, hawalah
bermakna perpindahan. Menurut istilah Hanafiyah, hawalah adalah akad
perpindahan penagihan hutang dari orang yang berhutang kepada orang lain yang
wajib menanggungnya. Dalam istilah ulama’ fiqh, hawalah merupakan
pemindahan beban hutang dari muhil (orang yang berhutang) menjadi
tanggungan muhal’alaih atau orang yang berkewajiban membayar hutang.
Dengan demikian, hal ini dapat
dijelaskan bahwa A (muhal) memberi pinjaman kepada B (muhil),
sedangkan B masih mempunyai piutang pada C (muhal’alaih). Begitu pihak B
tidak mampu membayar hutangnya pada A, ia lalu mengalihkan beban hutang
tersebut kepada pihak C. dengan demikian, pihak C yang harus membayar hutang B
kepada A, sedangkan hutang C sebelumnya pada B dianggap selesai.
2. Landasan
Syariah
Akad hawalah diperbolehkan
berdasarkan sunnah dari ijma’ ulama’. Diriwayatkan dari Imam Bukhari dari Abu
Hurairah, Rasulullah bersabda; “Menunda-nunda pembayaran hutang yang dilakukan
oleh orang mampu adalah suatu kedzaliman. Maka, jika seseorang diantara kamu
dialihkan hak penagih piutangnya (di-hawalah-kan) kepada pihak yang
mampu, maka terimalah”.
Pada hadits tersebut, Rasulullah
memberitahukan kepada orang yang mengutangkan, jika orang yang berhutang meng-hawalah-kan
kepada orang yang mampu, hendaklah ia menerima hawalah tersebut, dan
hendaklah ia menagih kepada orang yang di-hawalah-kan. Dengan demikian,
hak dapat terpenuhi. Ulama’ sepakat (ijma’) membolehkan akad hawalah.
Dengan catatan, hawalah dilakukan atas hutang yang tidak berbentuk
barang/benda, karena hawalah adalah proses pemindahan hutang, bukan
pemindahan barang/benda.
3. Rukun
dan Syarat
Menurut Hanafiyah, rukun hawalah
hanya terdiri dari Ijab dari pihak muhil, yakni orang yang berhutang dan
sekaligus berpiutang, dan Qabul dari pihak muhal atau muhtal,
yakni orang yang berpiutang kepada muhil. Mereka menambahkan, akad hawalah
harus didasakran pada kerelaan dan keridlaan pihak muhal’alaih, yakni
orang yang berhutang pada muhil dan wajib membayar hutang kepada
muhtal, karena ia merupakan pihak yang harus menanggung beban hutang yang
ada.
Menurut mayoritas ulama’, rukun hawalah
terdiri atas muhil (orang yang berhutang dan sekaligus berpiutang), muhal
atau muhtal (orang yang berpiutang kepada muhil), muhal’alaih (orang yang
berhutang pada muhil dan wajib membayar hutang kepada muhtal), muhal
bih (hutang muhil kepada muhtal) dan sighat (ijab qabul).
Ulama’ fiqh menetapkan beberapa
syarat terkait dengan rukun hawalah, yaitu:
a. Muhil,
adalah orang yang berakal dan baligh. Akad hawalah tidak sah dilakukan
oleh anak kecil atau orang gila yang tidak berakal. Selain itu, akad hawalah
harus berjalan dengan persetujuan dan kesepakatan muhil, karena di sini
berlaku konsep ibra’ (pembebasan) hutang yang bermakna pemindahan
kepemilikan.
b. Muhal,
haruslah orang yang berakal dan sudah baligh, dan ada persetujuan dan juga
kerelaannya untuk menerima hawalah dalam majlis akad.
c. Muhal’alaih,
syarat yang ada atas diri muhal atau muhtal, juga berlaku pada
diri muhal’alaih.
d. Muhal
bih harus berupa hutang dan bersifat
mengikat. Artinya adanya hutang dari pihak muhil kepada muhal,
dan hutang tersebut bersifat mengikat. Malikiyah menambahkan, hutang yang ada
sudah jatuh tempo dan nominal hutang harus sama dengan hutang yang dimiliki
oleh muhal’alaih.
Ketika akad hawalah telah
disepakati, maka muhil terbebas dari tuntutan hutang (bara’ah)
dari pihak muhal. Penagihan hutang akan berpindah dari pihak muhil
kepada muhal’alaih, artinya ketika muhal ingin menagih hutang, maka ia
harus datang kepada muhal’alaih, bukan kepada muhil. Ulama
berbeda pendapat tentang peralihan hak ini.
Abu Hanifah dan Abu Yusuf
menyatakan, perpindahan hak itu meliputi hak penagihan dan pembayaran hutang
sekaligus, yakni dari pihak muhil beralih kepada pihak muhal‘alaih,.
Akan tetapi, pembayaran hutang itu akan kembali lagi kepada muhil,
ketika muhal’alaih mengalami kebangkrutan atau meninggal dunia.
Menurut Imam Muhammad, yang
berpindah hanyalah hak penagihan saja, bukan hak pembayaran nominal hutang yang
ada. Beban pembayaran hutang tetap melekat pada diri muhil. Menurut
Zafar, hak penagihan dan pembayaran hutang tidak bisa berpindah kepada muhal’alaih,
muhal’alaih hanyalah sebagai penanggung (kafil) bagi muhil
ketika ia tidak mampu membayar. Menurut pendapat yang rajih, muhal
memilki hak untuk melakukan penagihan dan pembayaran nominal hutang dari muhal’alaih.
Akad hawalah akan berakhir
ketika terjadi pembatalan, dan muhal memiliki hak untuk melakukan
penagihan kembali kepada muhil. Menurut Hanafiyah, ketika muhal’alaih
mengalami kebangkrutan, maka akad dinyatakan berakhir dan hak penagihan
beralih kepada muhil. Menurut Hanabalah, Syafi’iyah dan Malikiyah,
ketika akad hawalah telah dilakukan secara sempurna, hak penagihan dan
beban hutang tidak bisa dialihkan kembali kepada muhil.
Jika muhal’alaih mengalami
kebangkrutan dan muhal tidak diberitahu oleh muhil, maka ia tetap
berhak melakukan penagihan terhadap muhil. Karena, ia diibaratkan
membeli sesuatu yang bersifat majhul (tidak diketahui) dan mengandung
unsur gharar (ketidakpastian).[8]
C.
Kaitan Kafalah dan Hawalah dalam Lembaga Keuangan Syariah
1. Kaitan
Kafalah Dalam Perbankan Syariah
a.
Kafalah bin-Nafs
Misalkan seorang
nasabah yang mendapatkan pembiayaan dengan jaminan nama baik dan ketokohan seseorang atau pemuka
masyarakat. Walaupun bank secara fisik tidak memegang barang apapun , tetapi
bank berharap tokoh tersebut dapat mengusahakan pembayaran ketika nasabah yang
di biayai mengalami kesulitan.
b.
Kafalah bit-Taslim
Jenis
pemberian jaminan ini dapat di laksanakan oleh bank untuk kepentingan
nasabahnya dalam bentuk kerjasama dengan perusahaan penyewaan (leasing
company). Jaminan pembayaran bagi bank dapat berupa deposito/tabungan dan
bank dapat membebankan uang jasa (fee) kepada nasabah itu.
c.
Kafalah al-Munjazah
Pemberian jaminan dalam bentuk performance
bonds “jaminan prestasi”, suatu hal yang lazim di kalangan perbankan
dan hal ini sesuai dengan bentuk akad.[9]
d.
Bank Garansi
Bank Garansi merupakan jaminan pembayaran yang di
berikan oleh bank kepada suatu pihak, baik perorangan, perusahaan, badan, atau
lembaga keuangan lainnya dalam bentuk surat jaminan.
e.
Syariah Card
Kafalah dapat di
aplikasikan dalam syariah card di samping menggunakan
akad qard, ariyah atau ijarah. Kafalah dalam
hal penerbit kartu adalah penjamin (kafil) bagi pemegang kartu
terhadap Merchant atas semua kewajiban bayar (dayn) yang timbul dari
transkasi antara pemegang kartu dengan Merchant, dan/atau penarikan tunai
dari selain bank atau ATM bank penerbit kartu.
f.
Asuransi Syariah (takaful)
Perusahaan asuransi merupakan
pihak penanggung atau penjamin, sedangkan peserta asuransi adalah pihak
tertanggung atau yang di jamin. dimana pihak yang terjamin di wajibkan membayar
premi asuransi dalam masa tertentu, lalu pihak yang menjamin akan mengganti
kerugian jika terjadi sesuatu pada diri si terjamin.
2.
Kaitan Hawalah Dalam Perbankan Syariah
Aplikasi Hawalah Dalam Dunia
Perbankan. Fikih kontemporer, khususnya dalam dunia perbankan, mengembangkan
konsep hawalah ini dalam beberapa bentuk, antara lain bilyet giro cek bertempo.
Dalam hal ini, kita contohkan seorang penulis buku yang mendapatkan royalti
dari sebuah penerbit. Ketika jatuh tempo membayar royalti, penerbit memberikan
giro yang berisi jumlah uang tertentu yang bisa dicairkan antara penerbit dan
bank. Adapun hal-hal yang diterapkan dalam perbankan syariah, yaitu:
a.
Factoring atau anjak piutang, dimana para
nasabah yang memiliki piutang pada pihak ketiga memindahkan piutang itu kepada
bank, lalu bank membayar piutang tersebut dan bank menagihnya dari pihak ketiga
itu.
b.
Post-dated check, dimana bank bertindak sebagai
juru tagih, tanpa membayarkan dulu piutang tersebut.
c.
Bill discounting, secara prinsip bill discounting
serupa dengan hiwalah.hanya saja, dalam bill discounting, nasabah harus
membayar fee, sedangkan dalam hiwalah tidak terdapat pembahasan fee.[10]
BAB
III
PENUTUP
A. Simpulan
Dari pembahasan di atas, dapat ditarik
simpulan bahwa:
1. Kafalah
adalah jaminan yang diberikan oleh penanggung (kafil) kepada pihak
ketiga untuk memenuhi kewajiban pihak kedua atau yang ditanggung.
2. Hawalah
adalah akad perpindahan penagihan hutang dari orang yang berhutang (muhil)
kepada orang lain yang wajib menanggungnya (muhal’alaih).
3. Kaitan
Kafalah Dalam Perbankan Syariah
a.
Kafalah bin-Nafs
b.
Kafalah bit-Taslim
c.
Kafalah al-Munjazah
d.
Bank Garansi
e.
Syariah Card
f.
Asuransi Syariah (takaful)
Kaitan Hawalah Dalam Perbankan
Syariah
a. Factoring atau anjak piutang
b. Post-dated check
c. Bill discounting
B. Saran
Demikianlah makalah yang dapat kami
susun mengenai materi yang menjadi pokok bahasan dalam makalah ini. Penulis
banyak berharap kepada para pembaca untuk memberikan kritik dan saran yang
membangun demi sempurnanya makalah ini. Semoga makalah ini berguna bagi penulis
pada khususnya juga pada pembaca pada umumnya.
DAFTAR
PUSTAKA
Ascarya, Akad dan Produk Bank
Syariah, PT Raja Grafindo Persada, Jakarta, 2007.
Djuwaini Dimyauddin, Pengantar
Fiqih Muamalah, Pustaka Pelajar, Yogyakarta, 2008.
Suhendi Hendi, Fiqih Muamalah, PT
Raja Grafindo Persada, Jakarta, 2002
[9] Sutan Remy Sjahdeini, Perbankan Syariah, (Jakarta: Kencana
Prenadamedia Group, 2014), hal.342-345
No comments:
Post a Comment