Monday 13 February 2017

Mudharabah

A.    Pengertian Mudharabah


Mudharabah
Mudharabah

    Mudharabah adalah bahasa penduduk irak dan Qiradh atau muqaradhah bahasa penduduk hijaz. Namun, pengertian qiradh dan mudhorobah adalah satu makna.
Mudhorobah berasal dari kata al-dharb, yang berarati secara harfiah adalah bepergian atau berjalan. Sebagaimana firman Allah dalam Qur’an surat al-Muzammil ayat 20, yang artinya :
“dan yang lainnya, bepergian dimuka bumi mencari karunia Allah.”
    Selain al-dharb, disebut juga qiradh yang berasal dari al-qardhu, berarti al qath’u (potongan) karena pemilik memotong sebagian hartanya utuk diperdagangkan dan memperoleh sebagian keuntunga. Adapula yang menyebut  mudharabah atau qiradh mudharabah atau qiradh dengan muamalah.
Jadi menurut bahasa, mudhorobah atau qiradh berarti al-qath’u (potongan), berjalan, dan atau bepergian.
Menurut istilah mudharabah atau qiradh dikemukakan oleh para ulama sebagai berikut:
1.    Menurut para fuqaha, mudharabah ialah akad antara dua pihak (oran g) saling menanggung, salah satu pihak menyerahkan hartanya kepada pihak lain untuk diperdagangkan dengan bagian yang telah ditentukan dari keuntungan, seperti setengah atau sepertiga dengan syarat-syarat yang telah ditentukan.
2.    Menurut Hanafiyah, mudharabah adalah memandang tujuan dua pihak yang berakad yang berserikat dalam keuntungan (laba), karena harta diserahkan kepada yang lain dan yang lain punya jasa mengelola harta itu. Maka mudharabah ialah akad syirkah dalam laba, satu pihak pemilik harta dan pihak lain pemilik jasa.
3.    Malikiyah berpendapat bahwa mudharabah adalah akad perwakilan, dimana pemilik harta mengeluarkan hartanya kepada yang lain untuk diperdagangkan dengan pembayaran yang ditentukan (mas dan perak).
4.    Imam Hanafilah berpendapat bahwa mudharabah adalah ibarat pemilik harta menyerahkan hartanya denga ukuran tertentu kepada orang yang berdagang dengan bagian dari keuntungan yang diketahui.
5.    Ulama syafi’iyah berpendapat bahwa mudharabah adalah akad yang menentukan seseorang menyerahkan hartanya kepada yang lain untuk ditijarahkan.
6.    Syaikh Syihab al-din al-Qalyubi dan Umairah berpendapat bahwa mudharabah ialah seseorang  menyerahkan harta kepada yang lain untuk ditijarahkan dan keuntungan bersama-saman.
7.    Al-Bakri Ibn al-Arif Billah al-Sayyid  Muhammad Syata  berpendapat bahwa Mudharabah ialah seseorang yang memberikan masalahnya kepda yang lain dan di dalamnya diterima penggantian.
8.    Sayyid sabiq berpendapat, Mudharabah ialah akad antara dua belah pihak untuk salah satu pihak mengeluarkan sejumlah uang untuk diperdagangkan dengan syarat keuntungan dibagi dua sesuai dengan perjanjian.
9.    Menurut Imam Taqiyuddin, mudharabah adalah akad keuntungan untuk dikelola dikerjakan dengan perdagangan.
    Dari beberapa pendapat dipahami bahwa mudharabah atau qiradh ialah akad antara pemilik modal (harta) dengan pengolah modal tersebut, dengan syarta bahwa keuntungan diperoleh dua belah pihak sesuai dengan kesepakatan.

B.    Dasar Hukum Mudharabah

    Melakukan mudharabah atau qiradh adalah boleh (mubah). Dasar hukumnya ialah sebuah hadits yang diriwayatkan oleh Ibnu Majah dari Syuhaib r.a, bahwasannya Rasulullah bersabda yang artinya :
“ada tiga perkara yang diberkati: jual beli yang ditanggungkan, memberi modal, dan mencampur gandum denga delai untuk keluarga, bukan untuk dijual.
    Diriwayatkan dari Daruquthni bahwa Hakim Ibnu Hizam apanila memberi modal kepada seseorang, dia mensyaratkan: “harta jangan digunakan untuk membeli binatang, jangan kamu bawa ke laut, dan jangan dibawa menyeberangi sungai, apabila kamu lakukan salah satu dari larangan-larangan itu, maka kamu harus bertanggung jawab pada hartaku.
    Dalam al-Muwaththa’, imam Malik dari al-A’la Ibn Abd al-Rahman Ibn Ya’kub, dari ayahya, dari kakeknya, bahwa ia pernah mengerjakan harta Utsman r.a sedangkan keuntungannya dibagi dua.
    Qiradh atau Mudharabah menurut Ibn Hajar telah ada sejak zaman rasulullah, beliau tahu dan mengakuinya, bahkan sebelum diangkat menjadi Rasul, Muhammad telah melakukan qiradh, yaitu Muhammad mengadakan perjalanan ke Syam untuk menjual barang-barang milik Khadijah r.a, yang kemudian menjadi istri beliau.

C.    Rukun dan Syarat Mudharabah

Menurut ulama Syafi’iyah, rukun qiradh ada 6, yaitu:
a.    Pemilik barang yang menyerahkan barang-barangnya.
b.    Orang yang bekerja, yaitu mengelola barang yang diterima dari pemilik barang.
c.    Aqad Mudharabah, dilakukan oleh pemilik dengan pengelola barang.
d.    Mal, yaitu harta pokok atau modal.
e.    Amal, yaitu pekerjaan pengelolaan harta sehingga menghasilkan laba.
f.    Keuntungan.
    Menurut Sayyid Sabiq, rukun mudharabah adalah ijab dan qabul yang keluar dari oranng yang memiliki keahlian.
    Syarat sah mudharabah berhubungan denga rukun mudharabah itu sendiri, syarat-syarat sah mudharabah adalah:
a.    Modal atau barang yang diserahkan itu berbentuk uang tunai. Apabila barang itu berbentuk mas atau perak batangan (tabar), mas hiasan atau barang dagangan lainnya mudharabah tersebut batal.
b.    Bagi orang yang melakukan akad disyaratkan mampu melakukan tasharruf, maka dibatalkan akad anak-anak yang masih kecil, orang gila, dan orang-orang yang berada di bawah pengampuan.
c.    Modal harus diktahui denga jelas agar dapat dibedakan antara modal yang diperdagangkan dengan laba atau keuntungan dan perdagangan tersebut yang akan dibagikan kepada dua belah pihak sesuai dengan kesepakatan yang telah disepakati.
d.    Keuntungan yang akan menjadi milik pengelola dan pemilik modal harus jelas  atau seperempat, umpamanya setengah, sepertiga.
e.    Malafadzkan ijab dari pemilik modal, misalnya aku serahkan uang ini kepadamu untuk dagang, jika ada keuntungan akan dibagi dua dan Kabul dari pengelola.
f.    Mudharabah bersifat mutlak, pemilik modal tidak mengikat pengelola harta untuk berdagang di Negara tertentu, memperdagangkan barang-barang tertentu, paa waktu-waktu tertentu sementara diwaktu lain tidak, karena persyaratan yang mengikat sering menyimpang dari tujuan akad mudharabah, yaitu keuntungan. Bila dalam mudharabah ada persyaratan-persyaratan, maka mudharabah tersebut menjadi rusak (fasid) menurut pendapat Syafi’I dan Malik. Sedangkan menurut Abu Hanifah dan Ahmad Ibn Hanbal, Mudharabah tersebut sah.

D.    Kedudukan Mudharabah

    Hokum mudharabah berbeda-beda karena adanya perbedaan-perbedaan keadaan. Maka, kedudukan harta yang dijadikan modal dalam mudharabah (qiradh) juga tergantung pada keadaan.
    Karena pengelola modal perdagangan mengelola modal tersebut atas izin pemilik harta, maka pengelola modal merupakan wakil pemilik barang tersebut dalam pengelolaannya, dan kedudukan modal adalah sebagai wikalah ‘alaih (objek wakalah).
    Ketika harta ditasharrufkan oleh pengelola, harta tersebut brada dibawah kekuasaan pengelola, sedangkan harta tersebut bukan miliknya, sehingga harta tersebut berkedudukan sebagai amanat (titipan). Apabila harta itu rusak bukan karena kelalaian pengelola, ia tidak wajib menggantinya. Bila kerusakan timbul karena kelalaian pengelola, ia wajib menanggungnya.
    Ditinjau dari segi akad, mudharabah terdiri atas dua pihak. Bila ada keuntungan dalam pengelolaan uang, laba itu dibagi dua dengan presentase yang telah disepakati. Karena bersama-sama dalam keuntungan, maka mudharaan juga sebagai syirkah.
    Ditinjau dari segi keuntungan yang diterima oleh pengelola harta, pengelola mengambil upah sebagai bayaran dari tenaga yang dikeluarkan, sehingga mudharabah dianggap sebagai ijarah (upah-mengupah atau sewa-menyewa).
    Apabila pengelola modal mengingkari ketentuan-ketentuan mudharabah yang telah disepakati dua belah pihak, maka telah terjadi kecacatan dalam mudharabah. Kecacatan yang terjadi menyebabkan pengelolaan dan penguasaan harta tersebut dianggap ghasab. Ghasab adalah min al-kabair.
E.    Biaya Pengelolaan Mudharabah
    Biaya bagi mudharib siambil dari hartanya sendiri selama ia tinggal di lingkungan (daerahnya) sendiri, demikian juga bila ia mengadakan perjalanan untuk kepentingan mudharabah. Bila biaya mudharabah diambil dari keuntungan, kemungkinan pemilik harta (modal) tidak akan memperoleh bagian dari keuntungan karena mungkin saja biaya tersebut sama besar atau bahkan lebih besar daripada keuntungan. 
    Namun jika pemilik modal mengizinkan pengelola untuk membelanjakan modal mudharabah guna keperlan dirinya di tengah perjalanan atau karena penggunaan tersebut sudah menjadi kebiasaan, maka ia boleh menggunakan modal mudharabah. Imam Malik berpendapat bahwa biaya-biaya baru boleh dibebankan kepada modal, apabila modalnya cukup besar sehingga masih memungkinkan mendatangkan keuntungan-keuntungan.
    Kiranya dapat dipahami bahwa biaya pengelolaan mudharabah pada dasarnya dibebankan pada pengelola modal, namun tidak masalah biaya diambil dari keuntungan apabila pemilik modal mengizinkannya atau berlaku menurut kebiasaan. Menurut Imam Malik, menggunakan modal pun boleh apabila modalnya besar sehingga memungkinkan memperoleh keuntungan berikutnya.
F.    Tindakan setelah Matinya Pemilik Modal
    Jika pemilik modal meninggla dunia, mudharabah menjadi fasakh. Bila mudharabah telah fasakh pengelola modal tidak berhak mengelola modal mudharabah lagi. Jika pengelola bertyindak menggunakan modal tersebut, sedangkan ia mengetahui bahwa pemilik modal telah meninggal dan tanpa izin para ahli warisnya, maka perbuatan seperti ini dianggap sebagai ghasab. Ia wajib menjamin (mengembalikannya), kemudian jika modal itu menguntungkan, keuntungannya dibagi dua.
    Jika mudharabah telah fasakh (batal), sedangkan modal berbentuk ‘urud (barang dagangan), pemilik modal dan pengelola modal menjual atau membaginya karena yang demikian itu adalah hak berdua. Jika pelaksana (pengelola modal) setuju dengan penjualan, sedangkan pemilik modal tidak setuju, pemilik modal dipaksa menjualnya, karena pengelola mempunyai hak dalam keuntungan dan tidak dapat diperoleh kecuali dengan menjualnya, demikian pendapat Madzhab Syafi’i dan Hanbali.
G.    Pembatalan Mudharabah
1.    Tidak terpenuhinya salah satu atau beberapa styarat mudharabah. Jika salah satu syarat mudharabah tdak terpenuhi, sedangkan modal sudah dipegangoleh pengelola dan sudah diperdagangkan, maka pengelola mendapatkan sebagian keuntungannya sebagai upah, karena tindakannya atas izin pemilik modal dan ia melakukan tugas berhak menerima upah. Jika mendapat keuntungan, maka keuntunga tersebut untuk pemilik modal.jika ada kerugian, kerugian tersebut menjadi tanggung jawab pemilik modal karena pengelola adalah sebagai buruh yang hanya berhak menerima upah dan tidak bertanggung jawab sesuatu apapun, kecuali atas kelalaiannya.
2.    Pengelola dengan sengaja meninggalkan tugasnya sebagai pengelola odal atau pengelola modal berbuat sesuatu yang bertentangan dengan tujuan akad. Dalam keadaan seperti ini, pengelola modal bertanggung jawab jika terjadi kerugian karena dialah penyebab kerugian.
3.    Apabila pelaksana atau pemilik modal meninggal dunia atau salah seorang pemilik modal meninggal dunia, mudharabah menjadi batal.

No comments:

Post a Comment